Polemik SP2D Palopo, Antara Efisiensi Fiskal atau Sentralisasi Kekuasaan

Plt Kabid Anggaran BPKAD Palopo, Imam Dermawan (kiri), Akademisi UMB Palopo Afrianto (tengah), dan Wakil Ketua II DPRD Palopo, Alfri Jamil, bersama host dari AMPO Khaerunnisa saat dialog publik “Efisiensi atau Sentralisasi Kekuasaan?” di Warkop Hypatia, Palopo, Jumat (17/10/2025). (FT: Dok. Sentrum)

SENTRUMnews.com, PALOPO — Kebijakan Pemerintah Kota Palopo yang memusatkan kendali pencairan anggaran di tangan Wali Kota Hj. Naili Trisal memantik perdebatan publik. Surat Edaran Nomor 900.1.4.8/1/BPKAD yang diteken 26 September 2025 mengatur bahwa setiap pencairan dana daerah harus mendapat persetujuan langsung dari Wali Kota sebelum diterbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D).

Langkah yang disebut sebagai upaya efisiensi fiskal ini justru dinilai sebagian pihak sebagai bentuk sentralisasi kekuasaan yang berpotensi memperlambat roda pemerintahan. Polemik tersebut mencuat dalam dialog publik bertajuk “Meninjau Kebijakan Pemkot Palopo dalam Pencairan Anggaran: Efisiensi atau Sentralisasi Kekuasaan?” yang digelar Gerakan Anak Muda Palopo (AMPO) di Warkop Hypatia, Jumat (17/10/2025). Forum ini mempertemukan pejabat Pemkot, anggota DPRD, dan akademisi.

Pemkot: Langkah Penyelamatan Fiskal
Pelaksana Tugas Kepala Bidang Anggaran BPKAD Palopo, Imam Darmawan, menjelaskan, kebijakan tersebut merupakan langkah penyelamatan fiskal di tengah tekanan keuangan daerah.

“Tahun ini berat. Ada pemangkasan anggaran pusat dan biaya PSU sebesar Rp16 miliar. Kami ingin memastikan APBD bisa bertahan tanpa mengorbankan pelayanan dasar,” ujarnya.

Menurut Kabid Aset BPKAD ini, dasar kebijakan ini merujuk pada Permendagri Nomor 77 Tahun 2020, yang memberi kepala daerah kewenangan sebagai kuasa pengelola keuangan. Dalam situasi tertentu, katanya, pengawasan langsung dibutuhkan untuk menjaga stabilitas fiskal. “Ini bukan soal menahan dana, tapi memastikan setiap rupiah dipakai tepat sasaran,” jelasnya.

Ia juga menepis anggapan bahwa Wali Kota menandatangani setiap SP2D secara manual. Pemantauan, kata dia, dilakukan melalui aplikasi digital Srikandi—platform kearsipan dan administrasi yang dikembangkan pemerintah pusat. “Yang menandatangani SP2D tetap Bendahara Umum Daerah, bukan Wali Kota. Beliau hanya memantau secara real time,” tegas Imam yang juga sebagai BUD Palopo.

Dalam forum itu, Imam bahkan sempat menerima berkas dari stafnya dan menandatanganinya di depan peserta dialog. “Itu SP2D, saya yang eksekusi,” ujarnya berkelakar sebelum berpamitan bergeser ke meja lain.

DPRD: Proses Jadi Lambat, Risiko Dana Pusat Terancam
Pandangan berbeda disampaikan Wakil Ketua II DPRD Kota Palopo, Alfri Jamil, yang menilai kebijakan itu justru menghambat percepatan serapan anggaran. “Proses yang dulu bisa selesai tiga hari, kini molor sampai seminggu karena harus menunggu tanda tangan Wali Kota,” ungkapnya.

Menurut Alfri, keterlambatan ini bisa berakibat serius. Ia mengingatkan risiko penarikan kembali Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik oleh Kementerian Keuangan bila realisasi anggaran tidak tercapai. “APBD itu uang rakyat. Kalau serapan rendah, yang rugi masyarakat, bukan pejabat,” katanya.

DPRD juga mengingatkan agar kepala daerah tidak melampaui batas kewenangan teknis sebagaimana diatur dalam Permendagri 77 Tahun 2020 dan Permendagri 15 Tahun 2024. “Kalau pencairan sepenuhnya dikontrol kepala daerah, bisa muncul konsekuensi hukum di kemudian hari,” ujarnya.

Akademisi: Efisiensi yang Keliru dan Berisiko Politik
Kritik paling tajam datang dari Afrianto, akademisi Universitas Mega Buana (UMB) Palopo. Ia menilai kebijakan ini bertentangan dengan prinsip akuntabilitas publik dan justru melemahkan efektivitas birokrasi.

“Efisiensi dilakukan di tahap perencanaan anggaran, bukan di tengah pelaksanaan. Kalau kegiatan sudah berjalan lalu anggaran ditahan, itu bukan efisiensi—itu disfungsi kebijakan,” tegasnya.

Afrianto menyoroti risiko politik dalam model sentralisasi seperti ini. “Wali kota adalah jabatan politik. Ketika semua keputusan teknis dipusatkan di situ, ada potensi like and dislike dalam pencairan,” ujarnya.

Tim Ahli penyusun RPJMD Kabupaten Luwu Timur ini juga mengingatkan bahwa dalam konteks pembangunan ekonomi, institusi inklusif akan mempercepat pertumbuhan, sementara institusi yang ekstraktif justru menghambat inovasi.

“Kalau benar ingin efisien, ukurannya bukan dengan menahan anggaran, tapi dengan merancang kebijakan fiskal yang matang sejak awal. Ini soal tata kelola, bukan soal kuasa,” tutup Afrianto.

Tarik-Menarik di Balik Kebijakan
Dialog yang berlangsung hangat itu berakhir tanpa kesimpulan tunggal. Pemerintah mempertahankan kebijakan sebagai strategi kehati-hatian fiskal, sementara DPRD dan akademisi menilai langkah itu menyalahi prinsip delegasi dan efisiensi.

Polemik SP2D ini kini menjadi cermin tarik-menarik antara kontrol fiskal dan kebebasan birokrasi, jika tak dijaga keseimbangannya, bisa membuat Palopo terjebak antara efisiensi dan eksklusivitas kekuasaan.

(Sn/Jn)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini