Wali Kota Bukan Mesin Teken: Akademisi Soroti Sentralisasi SP2D, ‘Mayor Teddy’ Bela Naili

Kolase Foto: Syhiruddin Syah (kiri), Abdul Salam (tengah), dan Afrianto (kanan). (Dok. Ist)

SENTRUMnews.com, PALOPO — Wali Kota Palopo, Hj. Naili Trisal, menerapkan kebijakan baru yang mengharuskan seluruh pencairan dana APBD disetujui langsung olehnya. Kebijakan ini memicu perdebatan di tengah masa transisi kepemimpinan di kota tersebut.

Pemerintah menyatakan langkah ini bertujuan memperkuat pengawasan dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Namun, sejumlah akademisi mengkritik kebijakan tersebut karena dinilai terlalu memusatkan kekuasaan fiskal dan dapat memperlambat proses birokrasi.

Di tengah sorotan, tokoh politik lokal, Abdul Salam yang dikenal sebagai ‘Mayor Teddy’ membela keputusan Wali Kota Naili. Ia menyebut kebijakan itu sebagai bagian dari upaya reformasi awal tata kelola keuangan, meski menuai kontroversi.

Kritik Akademisi: “Ini Jebakan Bagi Wali Kota”
Akademisi Universitas Andi Djemma (Unanda), Dr. Syahruddin Syah, menilai kebijakan itu sebagai bentuk sentralisasi kewenangan yang kontraproduktif. Ia mengingatkan, jika semua SP2D harus lewat meja wali kota, bukan hanya proses pelayanan publik yang melambat, tapi juga risiko politisasi birokrasi meningkat.

“Kalau semua pencairan harus lewat wali kota, itu akan memperlambat proses pelayanan. Apalagi bagi stakeholder yang butuh percepatan anggaran,” ujar Syahruddin, Selasa (7/10/2025).

Menurutnya, Wali Kota justru sedang menjebak dirinya sendiri dengan menumpuk semua beban teknis di level puncak.

“Boleh saja belajar sistem, tapi jangan larut. Kalau semua ditarik ke atas, itu sama saja menjebak diri sendiri,” tegasnya.

Ia mengingatkan, fungsi pengawasan seharusnya dijalankan oleh Sekda dan BPKAD, bukan langsung oleh wali kota. Pemerintahan yang sehat, kata dia, menuntut komunikasi dan distribusi wewenang, bukan kontrol tunggal.

Ekonomi Terancam Melambat: 57 Persen PDRB dari Konsumsi
Kritik serupa datang dari Dr. (Cand.) Afrianto M.Si dari Universitas Mega Buana. Ia menyoroti efek ekonomi dari kebijakan tersebut. Dengan 57 persen PDRB Palopo ditopang konsumsi rumah tangga, keterlambatan pencairan anggaran otomatis menekan daya beli masyarakat.

“Belanja pemerintah itu motor ekonomi lokal. Kalau cairnya lambat, pelaku usaha ikut tersendat,” ujarnya, Rabu (8/10/2025).

Data menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Palopo melambat signifikan:

Triwulan I 2025: 5,81%

Triwulan II 2025: 3,70%

Afrianto menyebut fenomena ini sebagai sinyal bottleneck birokrasi. Ia mengingatkan bahwa “Wali Kota bukan mesin tanda tangan,” dan menyerukan digitalisasi serta delegasi kewenangan agar birokrasi tidak menjadi hambatan.

“Kalau tetap satu pintu, pastikan pintunya digital, cepat, dan real-time,” katanya.

Pembelaan dari DPRD: “Ini Leadership, Bukan Otoritarian”
Di tengah derasnya kritik, dukungan justru datang dari Abdul Salam — anggota DPRD Palopo dari NasDem yang dikenal sebagai sosok “Mayor Teddy”. Loyalis Wali Kota itu menyebut kebijakan tersebut sebagai bagian dari tahap konsolidasi dan reformasi birokrasi awal.

“Lucu kalau ada yang menyebut ini otoriter. Baru dua bulan jalan, kok sudah heboh. Ini konsolidasi, bukan konsentrasi kekuasaan,” kata Salam, Selasa malam.

Menurutnya, kepala daerah wajib mengambil alih kontrol sementara demi mencegah kebocoran dan warisan sistem yang longgar. Ia bahkan menyindir pihak-pihak yang menentang kebijakan ini sebagai kelompok yang selama ini terlalu nyaman dengan sistem lama.

“Kalau ada yang terganggu, mungkin karena selama ini terlalu nyaman,” ujarnya tajam.

Reformasi atau ‘One Man Show’?
Surat Edaran Nomor 900.1.4.8/1/BPKAD tertanggal 26 September 2025 memang memberi wali kota kuasa penuh menyetujui seluruh permohonan SP2D sebelum diterbitkan.

Langkah ini disebut sejalan dengan semangat akuntabilitas dan transparansi. Namun, di lapangan, kebijakan tersebut dinilai menimbulkan antrean panjang dan ketidakpastian waktu pencairan.

Polemik SP2D ini memperlihatkan wajah baru pemerintahan lokal: hati-hati, tapi berisiko lamban. Wali Kota ingin memastikan tiap rupiah APBD tidak bocor, tapi dalam prosesnya, ia juga dihadapkan pada bahaya birokrasi yang membeku.

Apakah kebijakan ini akan menjadi fondasi reformasi keuangan Palopo atau justru melahirkan akuntabilitas semu yang menahan laju ekonomi daerah?

(Gb/Sn)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini