Pajak Kendaraan ASN Disyaratkan demi TPP, SE Wali Kota Palopo Dinilai Jual Ilusi Fiskal

Dr. (Dand), Afrianto,. M.SI. (FT: Dok. Ist)

SENTRUMnews.com, PALOPO – Surat Edaran (SE) Wali Kota Palopo Nomor 100.3.4.3/24/UMUM yang mewajibkan ASN melaporkan bukti pembayaran pajak kendaraan bermotor sebagai syarat pencairan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) memantik polemik.

SE itu diterbitkan pada 3 Oktober 2025, kebijakan ini diklaim untuk meningkatkan kepatuhan pajak di kalangan aparatur sipil negara. Namun, efektivitasnya diragukan.

Pengamat ekonomi, Afrianto, menilai kebijakan tersebut tidak akan memberi dampak fiskal yang berarti. Menurutnya, pendekatan yang digunakan lebih bersifat koersif ketimbang insentif.

“Kalaupun ASN Palopo sadar bayar pajak kendaraan karena kebijakan ini, nilainya tetap kecil. Jadi pendekatan kebijakannya sebaiknya insentif, bukan paksaan,” ujar Afrianto dalam keterangannya yang diterima, Rabu (8/10/2025).

Afrianto menyebut insentif seperti diskon pajak atau bonus administratif lebih efektif mendorong kepatuhan. Ia menilai, menjadikan bukti pembayaran pajak sebagai syarat pencairan TPP justru merupakan bentuk intervensi kebijakan yang keliru.

“Kalau dipaksakan seperti ini, justru salah cara mengintervensi. Ini bukan soal kepatuhan fiskal, tapi soal tata kelola kebijakan publik,” tegasnya.

Lebih jauh, Afrianto memperingatkan potensi “race to the bottom” antarwilayah jika pendekatan serupa diadopsi daerah lain. Alih-alih meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang terjadi hanyalah kompetisi memindahkan basis pajak kendaraan bermotor.

“Tidak ada peningkatan PAD riil, hanya ilusi fiskal. Yang terjadi hanyalah pergeseran penerimaan antarwilayah,” ujarnya.

Dari perspektif ekonomi mikro, kebijakan ini juga dikhawatirkan memicu distorsi pasar otomotif lokal. ASN yang terbebani syarat administratif bisa menunda pembelian kendaraan atau lebih memilih kendaraan bekas berpelat Palopo. Efek domino pun berpotensi terjadi.

“Akibatnya, permintaan kendaraan turun, omzet dealer berkurang, dan pajak progresif lain seperti PPN dan PPh juga ikut menurun,” jelas Afrianto.

Setidaknya, kata dia, terdapat tiga dampak utama dari kebijakan ini: penurunan kesejahteraan ASN, pergeseran PAD antarwilayah, serta nihilnya peningkatan basis pajak secara riil.

“Secara ekonomi, elastisitas pendapatan dari kebijakan ini mendekati nol, sehingga tidak memberi kontribusi nyata terhadap pertumbuhan PAD berkelanjutan,” tutupnya.

Kebijakan ini diniatkan mendorong kepatuhan, namun justru dinilai menambah beban tanpa hasil fiskal yang jelas tapi membangkitkan tanya, bisakah kepatuhan lahir dari paksaan, bukan kepercayaan?

(Rs/Jn)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini