Saat One Piece Lebih Menggetarkan daripada Merah Putih?
Oleh: Irsyad Alfarisi (Alumni Fakultas Hukum Universitas Andi Djemma)
AGUSTUS seharusnya menjadi momentum reflektif bagi bangsa. Di bulan inilah kita mengenang kembali semangat kemerdekaan, perjuangan tanpa pamrih para pahlawan, dan nilai-nilai luhur yang tersemat dalam setiap helai Sang Merah Putih. Namun hari ini, ada yang berbeda.
Di sejumlah sudut negeri, terutama di dunia maya dan komunitas anak muda, yang berkibar bukan lagi hanya Merah Putih, melainkan bendera bajak laut dari serial anime One Piece. Fenomena ini bukan sekadar tren atau kebetulan. Ia mencerminkan krisis yang lebih dalam: krisis makna terhadap simbol-simbol kenegaraan.
Dalam kajian teori simbolik Émile Durkheim, simbol memiliki fungsi kolektif dalam membangun kesadaran sosial. Ketika simbol negara – dalam hal ini bendera Merah Putih – tak lagi mampu merepresentasikan harapan kolektif, kepercayaan publik, atau rasa keadilan, maka masyarakat akan secara spontan mencari simbol alternatif yang dianggap lebih mewakili nilai-nilai yang mereka yakini.
Bendera One Piece, meski fiktif, membawa narasi yang kuat: tentang perjuangan, kebebasan, solidaritas, dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Sebuah narasi yang – ironisnya – kini dianggap lebih relevan oleh sebagian orang, terutama generasi muda, dibanding slogan-slogan formal kenegaraan.
Sebagian dari mereka menyebut bahwa bendera Merah Putih terlalu sakral untuk dikibarkan di negeri yang mereka anggap terlalu kotor. Simbol negara ini, yang seharusnya melambangkan pengorbanan kolektif dan cita-cita kemerdekaan, justru dirasa tidak lagi mencerminkan kenyataan yang adil, merata, dan bermartabat. Sebaliknya, ia dianggap merepresentasikan kemunafikan: korupsi yang sistemik, keadilan yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas, serta politik yang makin jauh dari nurani rakyat.
Dalam konteks ini, pengibaran bendera One Piece bukan lagi sekadar aksi iseng. Ia menjadi simbol perlawanan, atau paling tidak, bentuk kritik diam terhadap negara dan sistem yang tak lagi dipercaya. Pertanyaannya: mengapa bendera fiksi bisa lebih menggugah rasa solidaritas, keberanian, dan harapan dibanding bendera resmi negara?
Jawabannya bukan semata pada kuatnya pengaruh budaya pop. Masalahnya ada pada lemahnya negara menjaga makna simboliknya sendiri. One Piece mungkin hanya cerita fiksi, tapi nilai-nilai yang dibawanya terasa lebih nyata dibanding realitas yang diperlihatkan para elite bangsa.
Kita tentu tidak sedang bicara soal mengganti simbol negara. Ini soal bagaimana rakyat – terutama anak muda – kehilangan rasa memiliki terhadap simbol-simbol kebangsaan. Simbol hanya bermakna sejauh rakyat merasa diwakili olehnya. Ketika rakyat merasa dikhianati, simbol pun kehilangan rohnya.
Fenomena ini harus disikapi secara bijak, bukan dengan kemarahan atau kecaman. Menyalahkan rakyat karena “tidak menghargai bendera” adalah kegagalan membaca akar persoalan. Yang justru perlu dipertanyakan: apa yang telah dilakukan negara hingga Merah Putih tak lagi menjadi lambang yang dicintai?
Mengibarkan Merah Putih seharusnya bukan sekadar kewajiban administratif atau seremoni kosong. Ia harus lahir dari kebanggaan, dari rasa memiliki, dari keyakinan bahwa negara – meski penuh kekurangan – tetap berpihak pada rakyat. Ketika keyakinan itu hilang, tak perlu heran jika bendera fiksi mendapat tempat lebih hangat di hati.
Peristiwa ini bukan soal nasionalisme yang luntur. Ini adalah cermin gagalnya negara menjaga makna simbolik yang seharusnya hidup dalam hati rakyat. Jika Merah Putih ingin tetap berkibar dengan kehormatan, maka keadilan, kesetaraan, dan kemerdekaan sejati harus kembali dihidupkan dalam realitas sosial Indonesia hari ini.
Tinggalkan Balasan