Kalosi dan Revolusi Sunyi dari Desa

Kalosi. (FT: Ist)

SENTRUMnews.com, LUWU UTARA — Sebuah inovasi muncul dari Desa Tandung, Kecamatan Sabbang, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Seorang pemuda setempat, Ade Pratama (27), memanfaatkan pelepah pinang atau kalosi—yang selama ini dianggap limbah organik, menjadi produk bernilai ekonomi.

Kalosi yang biasa membusuk di tanah atau dibakar di dapur tradisional kini diubah menjadi wadah makanan, mangkuk, dan cendera mata berbasis bahan alami. Semua proses dilakukan secara mandiri di bengkel sederhana samping kediamannya. Ade bahkan merancang sendiri mesin cetak hidrolik yang menjadi inti produksinya.

“Saya hanya mencoba melihat sesuatu yang selama ini diabaikan,” ujar Ade melalui sambungan telepon dengan nada optimistis, Selasa (29/07/2025).

Kegiatan ini tak hanya menjadi sarana kreatif, tetapi juga membuka lapangan kerja baru di desa. Warga dilibatkan dalam pengumpulan dan pengolahan bahan baku. Para petani dan ibu rumah tangga menjadi bagian dari rantai produksi yang tidak terpusat, menciptakan model ekonomi sirkular berbasis komunitas.

Upaya Ade tidak berhenti pada produksi. Ia membawa produknya ke pameran-pameran lokal dan nasional. Dukungan investor dari Thailand mulai masuk, memberi peluang lebih besar bagi produk berbahan kalosi untuk menembus pasar internasional.

CEO Kalosi, Ade Pratama dan investor asal Thailand. (FT: Dok Pribadi)

Atas inisiatifnya, Ade dinobatkan sebagai Pemuda Pelopor Desa oleh Dinas Pemuda dan Olahraga Sulawesi Selatan pada 28 Juli 2025. Ia akan mewakili provinsi dalam ajang seleksi nasional Pemuda Pelopor yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga bersama Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Menurut Kepala Bidang Kepemudaan Dispora Sulsel, Erwin Sodding, Ade dan dua pemudi lainnya dari Gowa dan Pangkep mewakili wajah baru pemuda-pemudi desa yang berpikir progresif namun tetap berpijak pada nilai lokal.

“Ketiganya menjawab tantangan zaman dengan tetap menjaga jati diri lokal. Bukti bahwa desa pun bisa jadi sumber inovasi,” ujarnya.

Dari Gowa, Ramlah mendirikan rumah baca untuk anak-anak desa. Sementara itu, di Pangkep, Shofiyyah Asmi Ramadhani melestarikan tarian tradisional untuk membangun kembali identitas budaya anak muda.

Kisah Ade menjadi cermin bagaimana desa bisa menjadi pusat pertumbuhan baru jika diberi ruang untuk berkreasi. Di tengah tantangan perubahan iklim, urbanisasi, dan ketimpangan pembangunan, pendekatan inovatif berbasis potensi lokal seperti yang dilakukan Ade menjadi alternatif yang layak ditiru.

Inisiatif kecil seperti milik Ade Pratama menunjukkan bahwa masa depan desa tidak harus menunggu program-program besar dari pusat. Dengan kreativitas dan semangat kolaboratif, desa bisa menjadi pelopor perubahan yang berkelanjutan, dimulai dari pelepah pinang yang tak lagi dianggap sebagai limbah. (Sn/Jn)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini