Klaim Tanah Adat di Latimojong Dipertanyakan, Warga Blokade Akses Tambang PT MDA
SENTRUMnews.com, LUWU — Ketegangan pecah di Desa Ranteballa, Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu, Kamis (23/10/2025). Puluhan warga bersama kelompok emak-emak yang menamakan diri rumpun anak adat Ranteballa memblokade gerbang utama menuju area tambang PT Masmindo Dwi Area (MDA).
Mereka menuntut pengembalian tanah adat seluas 200 hektar yang disebut dijual ke perusahaan tanpa sepengetahuan masyarakat adat. Jalan ditutup dengan kayu, mobil, dan spanduk tuntutan. Akibatnya, pasokan BBM dan logistik perusahaan sempat terganggu.
Awalnya aksi berlangsung damai. Namun situasi memanas saat aparat keamanan bersama Brimob mencoba membuka paksa akses jalan. Saling dorong pun terjadi, dan beberapa peserta aksi, termasuk emak-emak, akhirnya dievakuasi aparat demi menghindari bentrokan lebih besar.
Warga menuding PT MDA menyerobot lahan adat lewat transaksi jual beli yang mereka anggap ilegal. Mereka mengancam akan memperluas blokade jika tuntutan tidak dipenuhi.
Klaim Tanah dan Sosok di Balik Polemik
Kisruh lahan di Latimojong bukan hal baru. Nama Jumiati muncul sebagai sosok yang mengaku mewakili dua rumpun adat berbeda—Pong Dera dan Pong Titing—dalam klaim atas dua bidang lahan bernomor 286B dan 286C di Dusun Nase, Desa Ranteballa.
Namun hasil penelusuran lapangan menunjukkan kejanggalan. Dua rumpun adat yang disebut Jumiati ternyata tak memiliki hubungan genealogis dan berasal dari wilayah berbeda.
Lebih jauh, Jumiati bukan warga asli Ranteballa, melainkan berdomisili di luar desa tersebut. Fakta ini membuat klaim perwakilannya dinilai lemah, baik secara adat maupun hukum.
Data Satgas dan Temuan Lapangan
Laporan Satgas Lahan pada September 2023 juga membantah klaim itu.
- Lahan 286B atas nama Marlina tercatat sebagai lahan tutupan, bukan area garapan aktif.
- Lahan 286C atas nama Soekrismawati telah dikompensasi secara sah kepada Martinus Salombe, warga Ranteballa keturunan Masamba, yang memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT) serta bukti pengelolaan berupa tanaman kopi dan cengkeh.
Keluarga besar Pong Titing, melalui Lewi Titing dan Korri Titing, juga menegaskan tak pernah memberi kuasa kepada siapa pun untuk membawa nama mereka dalam klaim tersebut. Mereka bahkan menyebut relokasi makam leluhur sudah dilakukan secara adat dan disepakati bersama PT MDA.
Perusahaan Tegaskan Hormati Prosedur Adat
Pihak PT Masmindo Dwi Area menyatakan selalu mengedepankan pendekatan sosial dan adat dalam setiap proses verifikasi lahan. Perusahaan mengklaim melibatkan tokoh masyarakat, pemerintah desa, serta pemilik lahan dalam setiap tahapan musyawarah agar keputusan diambil secara terbuka.
Langkah ini dinilai sebagai bagian dari komitmen perusahaan menjaga keharmonisan sosial di wilayah tambang, meski tudingan dari kelompok tertentu masih terus bermunculan.
Antara Perjuangan dan Kepentingan
Kasus Latimojong kini memunculkan pertanyaan publik: benarkah ini perjuangan menjaga tanah leluhur, atau justru kepentingan lain yang menunggangi isu adat?
Di tengah derasnya investasi tambang di pegunungan Luwu, klaim adat yang lemah secara genealogis maupun legal makin sering muncul. Fenomena ini menjadi peringatan bahwa isu adat tak boleh dijadikan alat tekanan untuk kepentingan ekonomi atau politik sesaat.
Polemik Latimojong menjadi cermin bagaimana konflik lahan di daerah tambang kerap dibungkus dengan narasi adat. Di baliknya, kepentingan ekonomi dan politik lokal sering berkelindan, meninggalkan masyarakat sebagai penonton di tanahnya sendiri.
(**/Sn)
Tinggalkan Balasan