Deklarasi dan Demonstrasi: Warga Luwu Timur Terbelah Soal Investasi PT IHIP di Lampia
SENTRUMnews.com, LUWU TIMUR — Gelombang dukungan dan penolakan terhadap rencana investasi PT Indonesia Hualy Industri Park (IHIP) di kawasan Lampia, Kecamatan Malili, kian memperlihatkan polarisasi masyarakat Luwu Timur. Dalam dua hari terakhir, dua peristiwa berbeda menunjukkan bagaimana proyek industri senilai triliunan rupiah ini memunculkan euforia sekaligus kegelisahan di daerah penghasil nikel tersebut.
Pada Minggu malam, 19 Oktober 2025, perwakilan dari enam desa lingkar tambang—Desa Harapan, Pasi-Pasi, Pongkeru, Wewangriu, Balantang, dan Puncak Indah—menggelar deklarasi dukungan terhadap kehadiran PT IHIP di Warkop Andara, Desa Puncak Indah.
Deklarasi yang diinisiasi Asosiasi Pengusaha Lampia (APAL) itu dihadiri ratusan warga, perangkat desa, pemuda, dan pelaku usaha lokal. Dalam suasana penuh semangat, peserta menandatangani berita acara dukungan dan petisi besar bertuliskan “Dukung PT IHIP Berinvestasi di Luwu Timur.”
Langkah ini disebut sebagai bentuk kesiapan masyarakat menjadi mitra dalam pengembangan kawasan industri Lampia yang diyakini mampu membuka lapangan kerja dan menggerakkan ekonomi lokal.
“Kami menyambut baik kehadiran PT IHIP. Ini bagian dari harapan kami agar ada peluang bagi pengusaha lokal dan tenaga kerja di Lampia,” ujar Adil Toamir, Ketua APAL.
Ia mengapresiasi pemerintah daerah yang dianggap memberi ruang bagi investasi dan mendorong percepatan ekonomi kawasan.
Dukungan tersebut juga disambut Camat Malili, H. Hasimning, yang hadir langsung dalam deklarasi. Ia menilai keterlibatan masyarakat sejak awal akan memperkuat rasa memiliki terhadap proyek industri strategis itu.
Namun sehari berselang, Senin, 20 Oktober 2025, suara berbeda muncul di depan Gedung DPRD Luwu Timur. Ratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Luwu Timur menggelar unjuk rasa menuntut transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah dalam proyek kawasan industri Lampia.
Mereka mendesak DPRD menggunakan hak angket untuk menyelidiki dugaan pelanggaran prosedur dan penyalahgunaan kewenangan, termasuk proses penyerahan lahan seluas 394,5 hektare dari PT Vale Indonesia kepada Pemda yang kemudian disewakan ke PT IHIP.
Koordinator aksi, Suparjo, menilai kebijakan tersebut sarat kejanggalan. Ia mempersoalkan penetapan kompensasi lahan yang disebut terlalu murah—hanya Rp5 miliar per tahun selama lima tahun, atau setara Rp226 per meter per tahun.
“Nilai itu tidak masuk akal. Tidak ada transparansi dalam penetapan harga lahan maupun keterlibatan masyarakat,” ujarnya.
Selain soal kompensasi, warga juga khawatir kehilangan sumber penghidupan. Lahan yang akan dijadikan kawasan industri disebut telah lama dihuni dan dikelola warga untuk bertani lada, cokelat, dan sawit.
“Kalau kawasan itu jadi industri, kami kehilangan mata pencaharian,” kata Suparjo.
Aksi berlangsung damai. Sejumlah peserta membawa spanduk dan poster bergambar karakter anime One Piece yang dijadikan simbol perlawanan terhadap kebijakan timpang.
Ketua DPRD Luwu Timur, Ober Datte, yang menemui massa aksi, menyatakan pihaknya akan menindaklanjuti tuntutan tersebut melalui rapat koordinasi bersama pemerintah kabupaten.
“Kami akan membahas seluruh poin yang disampaikan masyarakat dan meminta klarifikasi dari pemerintah daerah,” ujarnya.
Hingga kini, pemerintah daerah belum memberikan keterangan resmi mengenai detail perjanjian kerja sama dengan PT IHIP, termasuk dasar perhitungan kompensasi lahan.
Kehadiran PT IHIP di Luwu Timur menambah daftar investasi industri yang masuk pasca-ekspansi hilirisasi nikel di Sulawesi. Pemerintah daerah menilai proyek ini strategis untuk memperkuat ekonomi dan menyerap tenaga kerja lokal.
Namun di sisi lain, kekhawatiran soal ketimpangan informasi, dampak sosial-lingkungan, serta pengelolaan lahan bekas konsesi tambang yang belum sepenuhnya transparan terus mengemuka.
Bagi sebagian warga, proyek Lampia membawa harapan baru. Bagi sebagian lainnya, ini ancaman terhadap tanah dan kehidupan yang telah mereka bangun selama puluhan tahun.
Gelombang pro dan kontra di lingkar tambang Malili menegaskan satu hal: pembangunan industri tanpa dialog dan transparansi berisiko menimbulkan ketegangan sosial baru.
Jika pemerintah daerah tak segera membuka ruang komunikasi dan menjelaskan skema kerja sama dengan PT IHIP secara terbuka, dukungan yang kini ramai di warkop bisa saja berubah menjadi perlawanan di jalanan.
(Gb/Sn)
Tinggalkan Balasan