SP2D Harus Lewat Wali Kota, Akademisi Ingatkan 57 Persen PDRB Palopo dari Konsumsi

Dr. (Cand) Afrianto., M.Si. (FT: Dok. Ist)

SENTRUMnews.com, PALOPO Kebijakan baru Pemerintah Kota Palopo yang mewajibkan semua Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) lewat persetujuan Wali Kota mendapat kritik tajam dari kalangan akademisi.

Salah satu kekhawatiran utama adalah terganggunya perputaran ekonomi, terutama karena 57 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Palopo ditopang oleh konsumsi rumah tangga.

Semua Pencairan Dana Harus Lewat Wali Kota
Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran No. 900.1.4.8/1/BPKAD tertanggal 26 September 2025. Melalui kebijakan ini, pencairan dana APBD hanya bisa dilakukan setelah mendapatkan persetujuan langsung dari Wali Kota Palopo, Hj. Naili Trisal.

Langkah ini disebut sebagai upaya memperkuat akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Namun, kebijakan ini juga menuai kekhawatiran karena dinilai bisa memperlambat proses belanja pemerintah.

Akademisi: 57% PDRB Palopo dari Konsumsi
Dr. (Cand.) Afrianto M.Si, akademisi Universitas Mega Buana Palopo, menyebut kebijakan ini bisa berdampak besar terhadap ekonomi daerah.

“Jika belanja pemerintah tersendat, maka daya beli masyarakat juga ikut terganggu. Padahal konsumsi rumah tangga menyumbang 57 persen terhadap PDRB Palopo,” ujar Afrianto dalam keterangannya kepada Sentrum, Rabu (8/10/2025).

Afrianto menekankan bahwa belanja pemerintah adalah penggerak penting dalam ekonomi lokal. Jika pencairan dana harus menunggu tanda tangan Wali Kota, akan terjadi antrean dan keterlambatan yang berimbas langsung ke pelaku usaha dan masyarakat.

Pertumbuhan Ekonomi Mulai Melambat
Perlambatan juga terlihat dari data pertumbuhan sektor perdagangan dan jasa—sektor yang mendominasi ekonomi Palopo.

  • Triwulan I 2025: tumbuh 5,81%
  • Triwulan II 2025: hanya tumbuh 3,70%

“Penurunan ini mencerminkan melemahnya daya serap anggaran dan minimnya perputaran uang di sektor riil,” ujar Afrianto.

Sektor ini sangat sensitif terhadap keterlambatan pembayaran proyek, kontrak, dan gaji. Jika dana dari pemerintah lambat cair, aktivitas UMKM, jasa transportasi, dan perdagangan juga akan melambat.

Risiko Bottleneck dan Akuntabilitas Semu
Afrianto menilai, memusatkan seluruh otorisasi SP2D di tangan satu orang berisiko menimbulkan bottleneck birokrasi. Menurutnya, Wali Kota memiliki banyak tanggung jawab, sehingga tak realistis jika semua pencairan dana harus menunggu di satu meja.

“Wali Kota bukan mesin tanda tangan. Kalau semua menunggu, yang ada antrean panjang,” katanya.

Ia juga menyebut kebijakan ini bisa memunculkan akuntabilitas semu. Mekanisme kontrol horizontal seperti DPRD, BPK, dan partisipasi publik berpotensi dilemahkan jika seluruh keputusan anggaran hanya ada di satu tangan.

Usulan: Digitalisasi dan Delegasi
Afrianto menyarankan agar Pemkot Palopo segera melakukan digitalisasi sistem pencairan dana dan memberlakukan delegasi wewenang untuk belanja di bawah nominal tertentu.

“Kalau tetap satu pintu, pastikan pintunya digital, cepat, dan real-time,” tegasnya.

Palopo Butuh Tata Kelola yang Adaptif
Di tengah sinyal perlambatan ekonomi, Palopo disebut perlu sistem keuangan yang lebih adaptif dan efisien, bukan justru memperlambat. Semua pihak kini menunggu apakah kebijakan ini akan diperbaiki atau justru dipertahankan.

(Rs/Jn)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini