Akademisi Unanda Kritik Sentralisasi Pencairan Anggaran, Wali Kota Dinilai Menjebak Diri Sendiri

Akademisi Unanda Palopo, Dr. Syahiruddin Syah. (FT: Dok.Sentrum)

SENTRUMnews.com, PALOPO – Kebijakan Wali Kota Palopo Hj. Naili Trisal yang mewajibkan persetujuan pribadi untuk setiap pencairan dana lewat SP2D mendapat kritik dari akademisi Unanda, Dr. Syahruddin Syah. Ia menilai, aturan tersebut dapat memperlambat birokrasi dan mengganggu efektivitas pelayanan publik.

Syahruddin, yang juga ahli kebijakan publik, menilai sentralisasi kewenangan seperti ini berisiko menjadi jebakan politik bagi Wali Kota. Ia mengingatkan pentingnya pengawasan dan evaluasi yang transparan agar tidak menimbulkan masalah akuntabilitas.

“Kalau semua pencairan harus lewat wali kota, itu akan memperlambat proses pelayanan. Apalagi bagi stakeholder yang butuh percepatan pencairan anggaran,” ujar Syahruddin kepada Sentrum, Selasa (7/10/2025) malam.

Wali Kota Dinilai Menjebak Dirinya Sendiri
Syahruddin mengatakan dirinya memahami jika wali kota baru masih dalam tahap belajar sistem birokrasi. Namun, ia mengingatkan agar kewenangan teknis seperti pencairan dana tidak ditarik ke level kepala daerah.

“Boleh saja belajar, tapi jangan larut. Kalau semua ditarik ke atas, itu sama saja menjebak diri sendiri,” tegasnya.

Sekda dan BPKAD Harus Difungsikan Maksimal
Menurut dia, tugas pengawasan dan kontrol pencairan dana seharusnya dijalankan oleh Sekretaris Daerah (Sekda) dan DPKAD, bukan wali kota secara langsung.

“Kalau semua harus sepengetahuan wali kota, itu seperti tidak ada kepercayaan pada pejabat. Padahal DPKAD dan Sekda adalah pihak yang paling memahami ritme dan struktur pencairan anggaran,” bebernya.

Pemerintahan Butuh Komunikasi dan Distribusi Wewenang
Lebih lanjut, Syahruddin meminta agar wali kota membuka ruang komunikasi dan memberi kepercayaan kepada pejabat struktural untuk menjalankan fungsinya.

“Jangan terlalu kaku dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Berikan kepercayaan kepada aparat teknis agar pemerintahan tidak jalan di tempat,” katanya.

Singgung Teori Edward III dan Pendekatan Pentahelix
Syahruddin juga menyinggung teori implementasi kebijakan Edward III. Ia menyebut keberhasilan kebijakan sangat bergantung pada empat faktor: komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi.

“Kalau komunikasi tersumbat, sumber daya tidak dimaksimalkan, dan tidak ada kepercayaan (disposisi), maka kebijakan hanya akan berhenti di atas kertas.”

Ia mendorong agar Pemkot Palopo mulai mengadopsi pendekatan pentahelix, yakni kolaborasi antara pemerintah, akademisi, pelaku usaha, komunitas, dan media.

“Jangan hanya andalkan wali kota. Libatkan semua unsur. Itu kunci tata kelola pemerintahan modern,” pungkasnya.

Kebijakan Baru: SP2D Wajib Sepengetahuan Wali Kota
Sebelumnya diberitakan, kebijakan ini tertuang dalam Surat Edaran Wali Kota Palopo Nomor 900.1.4.8/1/BPKAD, tertanggal 26 September 2025. Dalam surat itu disebutkan bahwa seluruh permohonan pencairan dana dari OPD wajib mendapatkan persetujuan langsung dari Wali Kota sebelum SP2D diterbitkan.

Berikut mekanisme baru pencairan dana:

  1. PA (Pengguna Anggaran) mengajukan permohonan pembayaran lengkap dengan rincian kegiatan dan sumber dana.
  2. BUD (Bendahara Umum Daerah) mengajukan permohonan persetujuan kepada Wali Kota.
  3. Setelah disetujui Wali Kota, BUD menerbitkan surat persetujuan pencairan.
  4. SPM baru bisa diterbitkan setelah surat persetujuan dari Wali Kota diterima.

Demi Transparansi dan Pencegahan Penyimpangan
Pemkot Palopo berdalih, kebijakan ini dibuat sebagai langkah pengawasan keuangan agar penggunaan APBD lebih transparan dan akuntabel.

“Surat edaran ini mulai berlaku sejak ditetapkan dan wajib dijadikan pedoman oleh seluruh perangkat daerah,” demikian bunyi SE yang ditandatangani secara elektronik oleh Wali Kota Hj. Naili Trisal.

Kebijakan ini juga diklaim selaras dengan UU Pemerintahan Daerah, UU Perbendaharaan Negara, dan peraturan keuangan daerah tahun anggaran 2025.

Namun Menuai Kritik: Sentralisasi atau Pengawasan?
Meski diklaim untuk penertiban administrasi, sejumlah kalangan menilai kebijakan tersebut justru membuka ruang sentralisasi kekuasaan anggaran di tangan kepala daerah, yang bertolak belakang dengan semangat efisiensi birokrasi.

Akademisi dan praktisi pemerintahan berharap Wali Kota segera mengevaluasi mekanisme tersebut agar tak mengganggu laju pemerintahan dan pelayanan publik di Palopo.

(Sn/Jn)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini