Domino: Strategi Persaudaraan di Arena Kehormatan
Penulis: Isnul Ar ridha
Pegiat Literasi Luwu Raya
DOMINO. Permainan sederhana berbahan batu atau plastik dengan titik-titik hitam yang tak pernah berubah sejak berabad-abad lalu. Lahir di Tiongkok kuno, menyeberang samudra, melewati pelabuhan-pelabuhan Eropa, lalu mendarat di tanah Luwu. Di sini, domino bukan sekadar hiburan—ia menjadi bahasa pergaulan, perekat persaudaraan, dan bahkan bagian dari sejarah nama besar.
Salah satunya, Abdul Kahar Muzakkar—sosok legendaris dalam sejarah Sulawesi Selatan—lahir dengan nama kecil Ladomeng. Konon, nama itu berasal dari domeng, sebutan lokal untuk domino. Sebuah kebetulan yang kini terdengar seperti nubuat: domino akan selalu menjadi bagian dari cerita Luwu.
Namun, perjalanan domino di Indonesia pernah terperosok dalam stigma. Ia ditempatkan di sudut-sudut warung kopi, dibicarakan dengan nada sinis, dilekatkan pada kata “judi”. Tak peduli bahwa banyak yang memainkannya murni untuk mengasah logika, yang dilihat hanyalah taruhan dan uang yang berpindah tangan.
Hari ini, sejarah itu berbalik arah. Majelis Ulama Indonesia telah menegaskan: domino halal, selama dimainkan tanpa taruhan. Fatwa ini menjadi pintu pembebasan—mencabut domino dari jerat stigma dan menempatkannya pada posisi yang layak. Pemerintah pun melangkah lebih jauh, mendorong domino menjadi cabang olahraga resmi. Dari sekadar hobi sore hari, domino kini berdiri di panggung kehormatan sebagai olahraga otak, sejajar dengan catur atau bridge.
Luwu memanfaatkan momentum ini. Turnamen berskala nasional digelar, ribuan peserta tumpah ruah, ekonomi lokal berdenyut. Meja domino tak lagi sekadar arena iseng; ia menjadi panggung strategi, ketelitian, dan sportivitas.
Kini bayangkan, nama Ladomeng yang dahulu lahir di tengah denting kartu batu, hari ini bersinar sebagai simbol kebangkitan budaya. Domino bukan lagi permainan “nakal” di pojok warung—ia telah kembali sebagai warisan intelektual, bagian dari identitas, dan kebanggaan yang layak kita rayakan.
Sejarah selalu bergerak. Dan kali ini, domino bergerak dari ruang sempit menuju gelanggang terbuka, mengajak kita mengubah cara pandang: bahwa di balik setiap titik hitam di atas batu putih, tersimpan kisah tentang strategi, persaudaraan, dan kehormatan.
Tinggalkan Balasan