Pemerintah Harus Berdiri Bersama Rakyat, Bukan Investor

Irsyad Alfarizi. (FT: Dok Pribadi)

Oleh: Irsyad Alfarizi (Eks Ketua Hikmah Lutra)

Kehadiran Wakil Bupati Luwu Utara dalam pembukaan sosialisasi perusahaan tambang PT. Kalla Arebamma di Kecamatan Rampi menuai sorotan. Meskipun secara formal hanya membuka acara, kehadiran itu tidak bisa dilepaskan dari makna simbolik kekuasaan: representasi keberpihakan.

Tindakan tersebut menyisakan persoalan etis yang serius. Dalam konteks konflik laten antara masyarakat lokal dan kepentingan korporasi, kehadiran pejabat daerah dalam forum sosialisasi tambang menciptakan persepsi kuat bahwa pemerintah condong ke barisan pemilik modal, bukan berdiri di samping rakyat yang terdampak langsung.

Ini bukan hanya soal etika, tapi soal arah dan roh dari tata kelola pemerintahan. Seorang kepala daerah semestinya menjadi penengah yang menjembatani, bukan pendamping sepihak. Ketika simbol kekuasaan hadir dalam forum korporat tanpa memastikan ada forum serupa yang menjamin suara rakyat, netralitas menjadi ilusi.

Apalagi, sosialisasi tersebut justru menuai penolakan masyarakat Rampi. Fakta ini mengindikasikan bahwa proses komunikasi tidak dilandasi prinsip konsultatif yang inklusif. Padahal, dalam isu eksploitasi sumber daya alam—terutama di wilayah adat atau pedalaman—konsultasi yang bebas, didahulukan, dan diinformasikan secara utuh (Free, Prior and Informed Consent/FPIC) merupakan prinsip dasar yang wajib dihormati.

Pemerintah daerah seharusnya berdiri di barisan paling depan untuk memastikan bahwa suara warga tidak tenggelam dalam deru mesin tambang. Jika tidak, maka negara hanya akan menjadi stempel legalitas bagi perluasan kapital, bukan penjaga keadilan sosial dan ekologis.

Tambang bukan sekadar soal ekonomi. Ia membawa implikasi ekologis, sosial, dan kultural yang tak kecil. Air tercemar, tanah tergerus, udara berdebu, dan kehidupan masyarakat adat yang tercerabut dari akarnya.

Ketika kepala daerah hadir dalam forum tambang tanpa refleksi kritis terhadap semua itu, maka yang tampak bukan pembangunan, melainkan pelepasan tanggung jawab.

Bangsa ini tidak lahir dari kongkalikong pemodal dan kekuasaan. Ia lahir dari penderitaan dan harapan rakyat. Maka, pengkhianatan terbesar terhadap cita-cita kemerdekaan adalah ketika kekuasaan tunduk pada nilai tukar, dan menutup telinga dari nilai hidup.

Tanah, air, dan udara adalah warisan, bukan komoditas. Ketika semua hal diukur dengan mata uang, kita sedang membangun peradaban tanpa jiwa—di mana yang kuat semakin rakus, dan yang lemah semakin tak terdengar.

Kami tidak menolak pembangunan. Tapi kami menolak pembangunan yang membunuh akar hidup kami: keadilan, martabat, dan keberlanjutan.

Dalam sunyi dan riuh, kami akan terus bersuara. Sebab berpihak pada rakyat bukan pilihan politik. Ia adalah panggilan nurani.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini