Sengketa Lahan Berujung Duel Berdarah, Dua Petani di Luwu Luka Parah
SENTRUMnews.com, LUWU – Konflik agraria kembali menelan korban jiwa. Dua petani di Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan, terlibat perkelahian berdarah akibat sengketa pengelolaan lahan yang tidak diselesaikan secara tuntas.
Peristiwa tragis ini terjadi pada Minggu (20/07/25), sekitar pukul 13.00 WITA di kebun milik Kaharuddin (36), yang berada di Lingkungan Lumika, Kelurahan Noling, Kecamatan Bupon, Kabupaten Luwu.
Kaharuddin terlibat bentrok dengan Edi (40), petani yang sebelumnya mengelola sebagian lahan miliknya berdasarkan kesepakatan lisan.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, konflik bermula dari dugaan pelanggaran janji soal pembagian hasil panen. Dilaporkan selama empat musim panen, Kaharuddin menyerahkan lahan kepada Edi untuk dikelola tanpa sistem bagi hasil.
Namun setelah masa tersebut berakhir, hubungan keduanya memburuk. Edi merasa dikhianati karena menganggap Kaharuddin ingkar janji. Dengan emosi yang memuncak, Edi mendatangi kebun tersebut dan merusak tanaman coklat muda yang baru ditanam. Saat itu, Kaharuddin sedang memetik cengkeh di lokasi yang sama.
Keduanya sempat terlibat adu mulut, yang kemudian berubah menjadi duel sengit menggunakan parang. Akibat perkelahian itu, kedua petani mengalami luka serius. Edi (40) mengalami luka robek di pipi kiri, bawah dagu, kedua tangan, telinga kiri, dan alis kiri.
Sementara Kaharuddin (36) mengalami luka yang lebih parah, yakni tangan kiri dan ibu jarinya terputus, serta luka robek di betis kiri. Kedua korban telah dibawa ke fasilitas medis untuk mendapat perawatan intensif.
Pihak kepolisian dari Polsek Bupon langsung turun ke lokasi usai menerima laporan warga. Penanganan awal dilakukan oleh Bhabinkamtibmas Aipda Suparman bersama tim piket.
“Kasus ini sedang kami dalami dan akan diproses sesuai hukum yang berlaku,” ujar Aipda Suparman dalam keterangannya kepada wartawan.
Kekerasan akibat konflik agraria menjadi persoalan yang terus berulang di berbagai wilayah Indonesia. Ketiadaan kejelasan legal atas kepemilikan lahan, kesepakatan tanpa bukti tertulis, hingga absennya mediasi formal membuat konflik semacam ini mudah berubah menjadi kekerasan terbuka. (*)
Tinggalkan Balasan