Esensi Kebijakan Penghematan Anggaran

Eko Prasojo, (FT: Ist).

Oleh: Eko Prasojo, Wamenpan dan RB 2011-2014, Guru Besar Administrasi Negara FIA UI.

Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025.

Target efisiensi anggaran Rp 306,7 triliun, dengan rincian Rp 256,1 triliun dari belanja kementerian dan lembaga (K/L) dan Rp 50,6 triliun dari belanja transfer ke daerah (TKD).

Sejumlah K/L sudah melakukan penyesuaian belanja operasional, antara lain dengan memperbanyak working from anywhere(WFA), membatasi jam kerja kantor sampai pukul 16.00, mengurangi perjalanan dinas, efisiensi pemakaian listrik, AC, dan alat tulis kantor, menghilangkan operasional jemputan pegawai, hingga mengoptimalkan rapat-rapat secara daring.

Apa sebenarnya yang terjadi dalam birokrasi Indonesia sehingga Presiden mengeluarkan kebijakan efisiensi ini?.

Beberapa Problem Dasar

Besarnya target penghematan anggaran yang mencapai Rp 306,7 triliun menunjukkan ada yang salah dalam proses perencanaan dan penganggaran di birokrasi Indonesia. Angka ini sangat fantastis besar dan jika bukan karena perencanaan dan penganggaran yang buruk, niscaya program pembangunan 2025 sudah pasti bisa berantakan.

Mengapa Presiden Prabowo dan Menteri Keuangan sangat yakin bisa melakukan penghematan sebesar itu? Ini pertanyaan yang sangat menarik untuk dibahas. Ada beberapa jawaban atas hal ini sekaligus membuka berbagai persoalan dasar dalam sistem perencanaan dan penganggaran kita.

Pertama, banyak sekali kegiatan pembangunan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian dan Lembaga (RKA-KL) yang tidak relevan dengan pencapaian hasil (outcome) dan dampak kepada masyarakat.

Meskipun paradigma sistem keuangan negara kita sudah berbasis kinerja, sering kali kegiatan yang ditetapkan oleh K/L tidak terhubung dengan kinerja outcome yang akan dicapai dalam tahun anggaran yang bersangkutan.

Ini soal tradisi yang sudah lama berakar dan lemahnya kompetensi pejabat aparatur sipil negara (ASN) dalam merumuskan program dan kegiatan pembangunan yang berbasis kinerja sehingga orientasi pelaksanaan anggaran masih pada kinerja kegiatan dan output.

Kedua, fokus pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama ini masih berorientasi pada audit finansial dan masih sedikit yang berbasis audit kinerja (performance audit). Karena fokus yang demikian itu, banyak K/L yang lebih mementingkan kewajaran laporan keuangan dari pada ketercapaian target kinerja.

Beberapa waktu belakangan ini, BPK mulai memindahkan fokus audit ke kinerja, tidak saja kewajaran laporan keuangan. Ini didorong melalui perbaikan indi- kator kinerja outcome dalam Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi (SAKTI).

Ketiga, tradisi dan habit seremoni dalam birokrasi Indonesia masih sangat tinggi. Banyak kegiatan di K/L yang bersifat seremonial, seperti pemberian penghargaan oleh K/L kepada instansi pemerintah, seminar nasional, jamuan makan, seringnya rapat-rapat koordinasi, pengadaan kendaraan dinas, biaya cetak promosi dan laporan, biaya konsumsi rapat, dan biaya perjalanan dinas yang tinggi. Habitseremoni ini tentu terkait dengan orientasi bekerja ASN yang masih berfokus pada kegiatan dan output, bukan outcome dan dampak ke masyarakat.

Keempat, organisasi K/L dari dulu hingga kini masih berbasis tugas pokok dan fungsi, bukan pada kinerja. Desain struktur organisasi K/L saat ini tidak dikaitkan dengan Indikator Kinerja Utama (IKU), tetapi lebih banyak mencerminkan fungsi-fungsi apa saja yang harus dilakukan.

Padahal, dalam praktik birokrasi di Indonesia, tugas dan fungsi tidak selalu berhubungan dengan pencapaian kinerja. Artinya, banyak sekali struktur organisasi yang memiliki anggaran belanja tetapi tidak memiliki target pencapaian IKU organisasi tersebut. Karena itu, perlu desain struktur organisasi yang berbasis kinerja, meninggalkan paradigma lama berbasis tugas dan fungsi.

Kelima, dalam era pemerintahan desentralistik saat ini—sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, di mana kewenangan mengatur dan melaksanakan 32 urusan pemerintahan sudah diserahkan kepada kabupaten/kota—banyak fungsi K/L yang sepertinya ”diada-adakan” atau ”dibuat-buat”, tetapi tidak bisa dilaksanakan secara efektif di lapangan.

Hal ini diperburuk dengan lemahnya koordinasi dan kolaborasi antar-K/L dalam menyusun program pembangunan sehingga banyak terjadi duplikasi program dan kegiatan. Hasilnya adalah inefisiensi anggaran karena tidak sinerginya kegiatan lintas K/L.

Keenam, terlalu banyak prioritas pembangunan yang ingin dilaksanakan dengan keterbatasan anggaran. Setiap K/L menginginkan agar program dan kegiatannya menjadi prioritas pembangunan sehingga anggaran yang tersedia dibagi dengan proporsi yang kecil-kecil dan sering kali habis untuk belanja operasional, termasuk belanja pegawai dan belanja barang dan jasa.

Kita mengenal pepatah too many priorities means no priority. Karena itu, menurut saya, penghematan anggaran harus dilakukan dengan menetapkan prioritas pembangunan.

Besarnya target penghematan anggaran yang mencapai Rp 306,7 triliun menunjukkan ada yang salah dalam proses perencanaan dan penganggaran di birokrasi Indonesia.

Catatan Kritis Penghematan

Meski penghematan anggaran sangat baik dilakukan dan harus kita dukung, dalam implementasinya harus dilaksanakan dengan baik dan benar. Penghematan harus memperhatikan bangunan program pembangunan secara keseluruhan dan tak boleh parsial.

Dalam pengertian ini, pemotongan anggaran tetap didasarkan pada target outcome yang akan dicapai dalam tahun 2025. Adakalanya suatu komponen kegiatan harus tetap dipertahankan karena menjadi pendukung komponen lainnya sehingga pemotongan anggaran beberapa kegiatan secara parsial akan berpengaruh signifikan terhadap suatu produk pembangunan.

Karena produk (outcome) pembangunan sering kali bersifat lintas K/L, maka cara penghematan anggaran juga harus dilakukan secara lintas sektor, tak inward looking di setiap K/L.

Beberapa penghematan anggaran yang sudah dilakukan oleh K/L, seperti yang disiarkan di beberapa media sosial, berimplikasi pada dukungan teknis bekerja (seperti efisiensi listrik, AC, lift, pembatasan jam kerja, dan pemeliharaan gedung), maka jangan sampai kebijakan ini kontraproduktif dan menyebabkan demotivasi pegawai dalam bekerja mencapai kinerja.

Termasuk perubahan bekerja secara WFA, dalam praktiknya masih banyak kendala dalam pelaksanaannya. Hal ini kelak akan mudah dijadikan alasan atas tidak tercapainya kinerja individual, organisasional, dan instansional.

Terakhir, pada masa lalu, penghematan anggaran juga menimbulkan implikasi dalam sektor ekonomi. Berkurangnya kegiatan-kegiatan rapat, seminar, dan seremonial di hotel akan menurunkan pendapatan sektor perhotelan dan pariwisata. Hal ini juga akan berdampak pada sektor UMKM pendukung serta menyebabkan potensi pemutusan hubungan kerja (PHK).

Demikian pula sektor perhubungan akan terkena dampak karena berkurangnya perjalanan dinas ke luar kota. Harus diakui bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dipengaruhi oleh belanja negara di APBN dan APBD. Dengan demikian, pemerintah harus benar-benar menghitung dampak dari penghematan anggaran tersebut bagi masyarakat. Semoga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini