Menghitung Risiko “Kota Mati”: Menakar Fungsi Ekonomi Palopo di Tengah Pertumbuhan Ekonomi Sekitar
Oleh: Afrianto, M.Si (Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Hasanuddin).
Pada masa lalu, Kota Palopo merupakan pusat perdagangan strategis bagi wilayah di Luwu Raya yang meliputi Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, dan sebagian Toraja. Dengan posisi geografis yang sentral, jaringan transportasi darat yang cukup baik, serta pasar induk yang ramai, Palopo menjadi gerbang distribusi tempat bertemunya hasil bumi, barang impor, dan dinamika ekonomi rakyat dari pelosok pegunungan dan pesisir.
Seiring perkembangan daerah di sekitarnya, dalam dua dekade terakhir, struktur ekonomi kota palopo mengalami peregeseran yang signifikan, Di tahun 2010-2014 kontribusi sektor primer terhadap PDRB Kota Palopo masih setara dengan sektor perdagangan besar dan kecil. Namun, dari tahun ke tahun sektor ini terus mengalami penurunan.
Saat ini, sektor perdagangan yang mencakup perdagangan besar, eceran, dan reparasi kendaraan menjadi salah satu pilar utama struktur ekonomi di kota Palopo. Sektor ini menyumbang 21–24% terhadap Produk Domestik Real Bruto (PDRB), menjadikannya salah satu sektor dengan kontribusi terbesar setelah pertanian.
Meskipun secara kontribusi sektor perdangan masih tumbuh positif, namun laju pertumbuhannya dalam 5 tahun terakhir menunjukkan trend yang terus menurun dan kontribusinya terhadap PDRB menyusut dengan hanya berkontribusi 0,06 %. Pasca pandemi, sektor perdagangan hanya bisa tumbuh di level 5 %, laju pertumbuhannya tidak lagi mencapai level pra-pandemi yang dapat tumbuh di level 9 -11 %.
Dari sudut pandang ilmu ekonomi, fenomena ini bukan saja sekadar fluktuasi dari siklus bisnis, melainkan munculnya gejala degradasi fungsi ekonomi kota akibat ketidakseimbangan spasial, hilangnya economic gravity dan gagalnya transformasi struktural.
Fenomena ini bukan saja sekadar perubahan angka statistik, melainkan terjadinya transformasi ekonomi yang disengaja sekaligus reaktif. Terjadinya perlambatan struktural sektor perdagangan selama lima tahun terakhir (2019–2024) bukan sekadar isu ekonomi makro, melainkan ini menjadi sinyal awal akan adanya risiko transformasi menjadi dead city (kota mati), kota yang eksis secara administratif, tapi mati secara fungsional.
Kemunduran adalah proses bertahap
“Kota mati” bukan bencana mendadak, tapi proses tersembunyi yang terakumulasi. Dalam kajian perkotaan, (Jacobs, 1961; Myrdal, 1957; UN-Habitat, 2014). Menerangkan bahwa kota mati tidak muncul tiba-tiba. Ia lahir dari akumulasi kegagalan struktural yang bermula dari hilangnya fungsi ekonomi, degradasi infrastruktur, hingga eksodus generasi muda. Proses ini bersifat bertahap, sehingga sering kali tidak terdeteksi hingga kota kehilangan vitalitasnya secara permanen.
Selama ini, kota palopo tumbuh karena memenuhi fungsi strategis sebagai pusat distribusi, transit barang, atau pelayanan jasa pendidikan (puluhan kampus didirikan). Namun, ketika daerah disekitar juga membangun infrastruktur sendiri, pasar modern, jasa pendidikan tinggi, pelabuhan atau kawasan industry, maka fungsi tersebut teralihkan. Kondisi inilah yang mengakibatkan proses degradasi perlahan terjadi yang sering tidak terlihat, bukan karena kota itu gagal, tapi karena ia tidak bertransformasi di tengah perubahan struktural ekonomi wilayah.
Situasi yang membuat fenomena ini begitu berbahaya adalah kemiripannya dengan penyakit kronis : pada awalnya tidak menimbulkan gejala akut, namun terus merusak dari dalam. Kota masih tampak utuh dengan jalan masih beraspal, pasar -pasar masih buka, administrasi pemerintahan masih berjalan, tapi roh ekonomi dan sosialnya telah perlahan menguap. Ingat, bahwa proses terjadinya degradasi kota bukan linear, tapi berlangsung dalam tahapan laten yang sering diabaikan oleh perencana daerah.
Bukan Salah Kabupaten Tetangga, Tapi Strategi yang Tertinggal
Kemunculan dead city akibat dari ketidakmampuan beradaptasi di tengah kemajuan daerah sekitar, terjadi proses degradasi sistemik yang dipercepat oleh perkembangan pesat kabupaten-kabupaten tetangga. Kemajuan pembangunan daerah sekitar bisa jadi anugerah bagi kota palopo, namun bisa juga menjadi ancaman jika tidak diimbangi dengan strategi komplementer dan kebijakan tata ruang yang adil.
Fenomena ini bisa dijelaskan melalui dua teori utama dalam ekonomi perkotaan:
Pertama, Teori Cumulative Causation (Myrdal, 1957). Dimana ketika suatu daerah (misalnya Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Luwu) mendapatkan investasi besar, maka daerah ini akan menarik modal, tenaga kerja, dan infrastruktur. Maka yang terjadi selanjutnya akan muncul efek backwash, dimana daerah sekitar (seperti Palopo) justru kehilangan sumber daya. “Pertumbuhan tidak menyebar secara alami. Ia menghisap dari yang lemah untuk memperkuat yang kuat.”
Kedua, Teori Central Place (Christaller, 1933). Dimana Kota berfungsi sebagai pusat pelayanan yang menarik konsumen dari hinterland -nya. Tapi ketika kabupaten tetangga membangun fasilitas setara atau lebih baik , maka yang terjadi adalah Hinterland beralih loyalitas, permintaan agregat di kota menurun dan Kota akan kehilangan posisinya dalam hierarki perkotaan
Dengan merujuk pada dua teori ini, dua kabupaten (luwu dan luwu timur) yang saat ini berakselerasi menjadi daerah industry bisa jadi dalam jangka panjang akan menciptakan ketimpangan daerah sekitarnya. Tambang akan terus berproduksi, penerimaan tenaga kerja besar – besaran dan uang akan terus mengalir.
Pertanyaannya: Bagaimana Pemerintah Palopo mendesain ulang perencanaan pembangunannya dari upaya akselerasi kemajuan daerah tetangganya ? Mampukah walikota yang terpilih saat ini menyusun Langkah strategis sekarang dan kedepannya ?
Sebab jika tidak ada langkah strategis sekarang, bukan tidak mungkin suatu hari nanti kita akan menyebut Palopo sebagai kota yang ditinggalkan oleh zaman, bukan karena ia rusak, tapi karena ia gagal berubah.
Kemajuan pertambangan dan pertanian di kabupaten tetangga seharusnya menjadi peluang, bukan ancaman. Tapi tanpa kebijakan yang bijak, koordinasi antar daerah, dan investasi pada konektivitas non-fisik (digital, edukasi, jaringan pasar), maka kita sedang membangun surga bagi satu daerah, sambil mengubur kota-kota kecil di sekitarnya dalam sunyi yang tak terdengar.
Seperti diingatkan Albert O. Hirschman dalam bukunya Economic Development and Uneven Development, bahwa efek polarisasi akan mendominasi jika tidak diimbangi oleh trickle-down mechanism. Pertumbuhan yang terkonsentrasi di satu wilayah memang dapat menciptakan momentum ekonomi, tetapi tanpa intervensi kebijakan yang adil dan terkoordinasi, ia justru akan memperlebar jurang ketimpangan antar-wilayah. Oleh karena itu, kita berharap ada forum resmi antar-bupati dan wali kota untuk menyusun strategi ekonomi bersama dengan merancang, mengoordinasikan, dan melaksanakan strategi pembangunan ekonomi regional yang inklusif, berkelanjutan, dan saling melengkapi.
Tinggalkan Balasan