Janji Pembangunan Jalan Sabbang–Tallang Sae yang Terbengkalai

Abd. Rahman. (FT: Dok Pribadi)

Penulis: Abd. Rahman
Mahasiswa Fakultas Hukum Unanda

JALAN TRANS Sabbang–Tallang Sae adalah wajah nyata bagaimana pemerintah kerap menyepelekan kebutuhan mendasar masyarakat. Jalan ini bukan sekadar lintasan penghubung, melainkan urat nadi kehidupan yang menopang mobilitas, perdagangan, pendidikan, hingga akses kesehatan. Namun sayang, perhatian pemerintah terhadap jalan ini lebih sering berakhir pada kata-kata ketimbang kerja nyata.

Kasus di Desa Pararra, Kecamatan Sabbang, menjadi contoh paling gamblang. Buronjong untuk perbaikan jalan memang sudah tersedia di lokasi sejak lama. Tetapi alih-alih segera dikerjakan, material itu hanya dibiarkan tergeletak tanpa kepastian. Buronjong yang seharusnya menjadi tanda awal pembangunan, justru berubah menjadi simbol janji kosong dan kelalaian pemerintah.

Masyarakat tidak diam. Mereka berulang kali menyuarakan aspirasi, mulai dari tingkat desa dan kecamatan hingga ke forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Kabupaten maupun DPRD Provinsi. Namun dari sekian banyak rapat resmi itu, yang tersisa hanyalah tumpukan notulen dan janji yang tak pernah ditepati. Setiap kali ditanya tentang progres pengerjaan, jawaban yang keluar hanyalah janji manis, sementara jalan tetap rusak, rakyat tetap menderita.

Ironisnya, pemerintah justru menjadikan jalan ini sebagai arena Tour 3 Day Masamba–Seko. Seremonial lebih diprioritaskan daripada keselamatan rakyat. Para pejabat bisa melintas dengan gagah, menikmati momentum, sementara masyarakat setempat harus bertahun-tahun melawan kesulitan akses jalan. Bukankah ini bentuk nyata ketidakadilan dan ketidakpekaan?

Masyarakat Desa Pararra dan pengguna Jalan Sabbang–Tallang Sae lainnya tidak meminta kemewahan. Mereka hanya meminta hak dasar berupa akses jalan yang layak: jalan yang aman untuk dilalui anak sekolah, jalan yang memudahkan petani mengangkut hasil bumi, serta jalan yang bisa menghubungkan warga dengan rumah sakit tanpa harus terhambat lumpur dan lubang.

Kini, yang ditunggu bukan lagi rapat, bukan lagi alasan teknis, dan bukan lagi janji. Yang ditunggu adalah aksi nyata dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Buronjong yang sudah ada di Desa Pararra harus segera dimanfaatkan, bukan dibiarkan menjadi besi tua tak berguna. Jika pemerintah terus mengulur waktu, maka kepercayaan publik akan semakin terkikis, dan suara rakyat yang selama ini sabar bisa berubah menjadi gelombang kekecewaan yang lebih besar.

Jalan Trans Sabbang–Tallang Sae adalah hak rakyat, bukan arena seremonial. Pemerintah harus ingat: rakyat bisa memaafkan keterlambatan, tetapi rakyat tidak akan pernah lupa terhadap pengabaian.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini