Pembela Wali Kota dan Tuduhan Aktivis Cuan

Ilustrasi. (FT: AI)

Penulis: Isnul Ar Ridha
Pegiat Literasi Luwu Raya

MEMBACA NARASI yang berusaha membela Wali Kota Palopo dengan menyebut kritik sebagai “gorengan politik murahan”. Tetapi mari kita jernihkan persoalan.

Pertama, benar bahwa ijazah adalah hak pribadi dan tidak boleh ditahan perusahaan. Namun, ketika persoalan seperti ini mencuat di ruang publik, wajar jika masyarakat bertanya: kenapa pemerintah lambat merespons? Fakta bahwa Disnaker “membuka ruang pelaporan” bukanlah jawaban tuntas. Rakyat menunggu tindakan nyata, bukan sekadar pernyataan normatif.

Kedua, Dalam politik, persepsi dan integritas pemimpin tidak bisa dipisahkan dari rekam jejaknya. Publik berhak mengingat dan menguji kembali, apakah ada pola atau sekadar kebetulan. Itu bukan gosip, melainkan dinamika demokrasi.

Ketiga, menyebut pihak yang kritis sebagai “aktivis cuan” justru melemahkan argumen. Kritik bukan otomatis berarti bayaran. Justru narasi semacam ini terkesan ingin mematikan suara rakyat dengan labelisasi yang tidak sehat. Kalau memang tudingan itu benar, silakan dibuka datanya: siapa aktivisnya, berapa cuannya, dari siapa dan untuk apa. Jangan hanya melempar stigma tanpa bukti—karena sama saja jatuh pada pola “gorengan politik” yang dikritik dalam tulisan tersebut.

Keempat, wajar jika masyarakat menuntut kejelasan dari pemerintah. Wali Kota memang baru menjabat, tetapi sejak hari pertama seorang pemimpin diikat sumpah dan mandat rakyat. Tidak ada istilah “masa adaptasi” untuk tanggung jawab publik. Justru di awal inilah integritas dan ketegasan diuji.

Rakyat Palopo tidak butuh drama saling tuding, baik kepada lawan politik maupun kepada “aktivis cuan”. Yang dibutuhkan adalah langkah cepat, transparan, dan hasil yang nyata. Jika ada perusahaan menahan ijazah, sebutkan namanya dan tindak tegas secara hukum. Jangan hanya mengalihkan isu dengan menyerang pihak lain.

Pada akhirnya, sejarah memang akan mencatat siapa yang bekerja dan siapa yang bermain narasi. Tetapi sejarah juga punya mata: ia tidak hanya mencatat hasil pembangunan, melainkan juga mencatat bagaimana pemimpin menghadapi kritik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini