TePI Ingatkan Ancaman Politik Uang yang Kian Biasa di Mata Masyarakat
SENTRUMnews.com, PALOPO — Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampow, mengingatkan bahaya politik uang yang kini makin dianggap wajar oleh masyarakat. Menurutnya, kondisi ini menandakan adanya kemunduran dalam kualitas demokrasi, di mana praktik transaksional mulai menggantikan nilai-nilai ideologis dalam hubungan antara pemilih dan kandidat.
Jeirry menegaskan, persoalan utama demokrasi Indonesia bukan lagi pada lemahnya aturan, melainkan pada menurunnya kepercayaan publik terhadap ketegasan dan transparansi Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu. Ia menilai, tanpa kepercayaan publik dan pengawasan yang terbuka, pemilu hanya akan menjadi formalitas demokrasi yang kehilangan makna.
“Bukan aturannya yang lemah, tapi persepsi publik terhadap ketegasan Bawaslu yang runtuh,” ujar Jeirry dalam forum evaluasi penguatan kelembagaan yang digelar Bawaslu Provinsi Sulsel di Nuiz Coffee, Kota Palopo, Minggu (2/11/2025).
Menurutnya, Bawaslu kini memiliki kekuasaan besar setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memberi kewenangan memutus pelanggaran administratif Pilkada tanpa melalui peradilan. Namun, kekuasaan itu harus dibarengi transparansi dan akuntabilitas.
“Semakin besar kekuasaan, semakin besar pula risiko berjalan sendiri. Dan ketika itu terjadi, kualitas demokrasi justru memburuk,” ucapnya.
Jeirry menilai gejala apatisme politik masyarakat makin menguat usai Pemilu 2024. Politik uang, katanya, sudah menjadi hal biasa dan hubungan antara kandidat dan pemilih kini bersifat transaksional.
“Orang datang ke TPS bukan karena ideologi, tapi karena imbalan. Demokrasi kita berubah jadi transaksi untung-rugi,” ujarnya.
Ia mengingatkan, tertutupnya lembaga pengawas justru memperbesar kecurigaan publik. “Kalau data pelanggaran tak dibuka, itu pertanda ada masalah di dalam lembaga. Transparansi bukan pilihan moral, tapi syarat hidup bagi demokrasi,” tegasnya.
Jeirry juga menyoroti beban kerja yang tak seimbang antara KPU dan Bawaslu. “Beban Bawaslu berat, tapi insentifnya tak seimbang. Banyak urusan teknis yang seharusnya di KPU justru ditarik ke Bawaslu. Ini yang harus dievaluasi,” katanya.
Fenomena politik patronase, lanjut Jeirry, sudah mengakar dalam sistem politik lokal. Selama politik uang dianggap wajar, demokrasi hanya akan menjadi “pesta transaksional tanpa jiwa.”
Ia juga menilai partisipasi pemilih yang tinggi belum tentu menandakan kualitas demokrasi. “Kita sering bangga dengan partisipasi tinggi, padahal di baliknya ada kerusakan serius: politik uang yang dilegalkan secara sosial,” ujarnya menegaskan.
Dalam forum yang juga menghadirkan Tenaga Ahli Kemendagri Bidang Politik Hukum, Ano Suparno, serta Ketua Bawaslu Bone, Sofyan Djama sebagai moderator, para pembicara sepakat bahwa reformasi demokrasi tak akan berhasil jika lembaga pengawas kehilangan kepercayaan moral.
“Bawaslu bukan hanya penjaga aturan, tapi juga penjaga nurani publik,” kata Ano menutup sesi diskusi.
Diskusi itu meninggalkan pesan yang tajam: demokrasi Indonesia mungkin tak kekurangan aturan, tapi sedang kehabisan kepercayaan. Sebab, ketika transparansi lembaga pengawas meredup, publik hanya akan melihat satu hal — bahwa pemilu tanpa kejujuran hanyalah upacara legitimasi kekuasaan.
(Sn/Jn)

Tinggalkan Balasan