Bawaslu Palopo Didorong Lebih Terbuka dan Komunikatif Bangun Kepercayaan Publik
SENTRUMnews.com, PALOPO — Dua pakar politik menilai Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) perlu lebih terbuka dan komunikatif dalam menjalankan fungsi pengawasan pemilu. Keterbukaan dinilai menjadi kunci membangun kepercayaan publik terhadap integritas demokrasi dan memperkuat legitimasi lembaga pengawas.
Pandangan itu mencuat dalam forum dialog evaluasi penguatan kelembagaan yang digelar Bawaslu Provinsi Sulawesi Selatan di Nuiz Coffee, Kota Palopo, Minggu (2/11/2025). Para narasumber menekankan pentingnya transformasi Bawaslu dari sekadar pengawas teknis menjadi pengelola kepercayaan publik melalui komunikasi yang aktif, transparan, dan responsif.
Tenaga Ahli Kemendagri Bidang Politik Hukum, Ano Suparno, mengatakan Bawaslu bukan hanya pengawas teknis tahapan pemilu, melainkan lembaga yang berperan membangun kepercayaan masyarakat terhadap integritas demokrasi.
“Pemilu adalah komunikasi politik besar antara rakyat dan negara. Maka pengawasan Bawaslu tak boleh berhenti di teknis, tapi juga menyentuh dimensi kepercayaan,” kata Ano.
Ia menegaskan, di era digital, transparansi dan komunikasi publik menjadi penentu legitimasi lembaga pengawas. Menurutnya, publik mudah meragukan netralitas bila informasi pengawasan tidak tersampaikan dengan baik.
“Komunikasi adalah jiwa pengawasan demokratis. Bawaslu harus dilihat sebagai lembaga komunikasi publik, bukan hanya pengawas administratif,” ujarnya.
Ano juga menyinggung dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2025 yang memperkuat posisi Bawaslu. Pertama, pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah. Kedua, pemberian kewenangan kepada Bawaslu untuk memutus pelanggaran administrasi Pilkada, bukan sekadar memberi rekomendasi.
“Ini momentum besar. Tapi kekuasaan itu harus diimbangi dengan komunikasi yang akuntabel,” tambahnya.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampow, menilai tantangan terbesar Bawaslu bukan lagi soal aturan, tapi persepsi publik. Ia menyebut hasil Pemilu 2024 memperlihatkan penurunan kepercayaan masyarakat terhadap ketegasan lembaga itu.
“Publik melihat Bawaslu tidak lagi sekeras dulu. Banyak laporan pelanggaran yang tak ditindak, atau respons lembaga yang lambat,” ujarnya.
Jeirry menambahkan, sebagian media menggambarkan Bawaslu sebagai “penonton di tengah lapangan demokrasi yang gaduh”. Dalam pandangannya, legitimasi hukum saja tidak cukup tanpa kepercayaan moral publik. “Tanpa kepercayaan publik, pemilu kehilangan legitimasi moral,” katanya.
Menurut Jeirry, relasi Bawaslu dengan media selama Pemilu 2024 juga perlu diperbaiki. Banyak jurnalis menilai lembaga itu defensif dan kurang terbuka terhadap kritik.
“Keterlambatan informasi sering ditafsir sebagai ketertutupan. Lembaga harus lebih proaktif menjelaskan, bukan menunggu ditanya,” ujarnya.
Ia mengusulkan agar Bawaslu memperkuat reformasi internal berbasis nilai integritas, membuka forum rutin dengan media, serta mengembangkan pengawasan partisipatif lewat Forum Warga Pengawas. “Kritik publik bukan ancaman, tapi cermin untuk memperbaiki diri,” katanya.
Diskusi yang dimoderatori Ketua Bawaslu Bone, Sofyan Djama, itu dihadiri perwakilan ormas, NGO, jurnalis, serta anggota Bawaslu dari Toraja Utara, Luwu, dan daerah lainnya.
Ketua Bawaslu Kota Palopo Khaerana menjelaskan, kegiatan tersebut merupakan bagian dari program evaluasi kelembagaan Bawaslu Provinsi Sulawesi Selatan yang digelar di 24 kabupaten/kota.
“Masukan publik dan media menjadi bahan refleksi kami untuk memperbaiki pola komunikasi pengawasan ke depan,” ujarnya.
Diskusi ditutup dengan kesimpulan bahwa demokrasi yang sehat tidak cukup dengan aturan dan sanksi, tetapi juga memerlukan lembaga pengawas yang dipercaya karena keterbukaannya.
(Sn/Jn)

Tinggalkan Balasan