Palopo Sentralisasi Anggaran, DPRD Ingatkan Potensi Penarikan Dana dari Pusat

Wakil Ketua II DPRD Palopo, Alfri Jamil, memberikan keterangan pers usai dialog publik di Warkop Hypatia, Palopo, Jumat (17/10/2025). (FT: Dok. Sentrum)

SENTRUMnews.com, PALOPO — Kebijakan Pemkot Palopo yang memusatkan pencairan anggaran di tangan Wali Kota menuai kritik DPRD. Langkah ini dinilai memperlambat birokrasi dan menghambat kinerja OPD.

DPRD juga mengingatkan potensi konsekuensi serius, termasuk risiko penarikan Dana Alokasi Khusus (DAK) oleh pemerintah pusat yang berimplikasi rendahnya serapan anggaran.

Sorotan ini mengemuka dalam forum diskusi publik bertajuk “Efisiensi atau Sentralisasi Kekuasaan?”yang digelar Gerakan Anak Muda Palopo (AMPO), Jumat (17/10/2025) di Warkop Hypatia. Forum tersebut menjadi ajang terbuka bagi DPRD dan Pemkot serta akademisi untuk saling menyampaikan pandangan secara langsung.

Wakil Ketua II DPRD Palopo, Alfri Jamil, menilai kebijakan tersebut menyimpang dari semangat efisiensi. “APBD itu uang rakyat. Wewenang teknis pencairan seharusnya berada di OPD, bukan di tangan Wali Kota. Hari ini, proses pencairan yang biasanya tiga hari, bisa molor sampai seminggu,” ujar Alfri dengan nada serius.

Politisi PDIP itu menegaskan bahwa keterlambatan pencairan bisa berdampak pada rendahnya serapan anggaran. Bahkan, ia menyebut risiko ditariknya dana dari pusat bukan sekadar asumsi belaka.

“Kementerian saja bisa ditarik dananya, apalagi kita di daerah. DAK Fisik bisa-bisa hilang kalau ini terus dibiarkan,” ucapnya.

Menanggapi kritik tersebut, Plt. Kabid Anggaran BPKAD Palopo, Imam Darmawan, membantah tudingan sentralisasi kekuasaan. Ia menyebut kebijakan itu diambil demi menjaga keberlangsungan fiskal daerah di tengah tekanan anggaran yang berat.

“Ini semata-mata untuk efisiensi. Tujuannya bukan memperlambat, tapi menyaring agar pengeluaran benar-benar prioritas dan tidak ugal-ugalan. Kami ingin APBD ini survive,” jelas Imam.

Imam mengungkapkan, Pemkot harus menghadapi pemotongan dana infrastruktur senilai Rp20 miliar serta tambahan beban anggaran Pemungutan Suara Ulang (PSU) sebesar Rp16 miliar lebih.

Penjelasan dari pihak eksekutif dinilai belum cukup meredakan kekhawatiran legislatif. DPRD menyebut kebijakan tersebut berpotensi melanggar regulasi teknis dalam pengelolaan keuangan daerah.

“Permendagri 77/2020 dan Permendagri 15/2024 sudah sangat jelas. Pendelegasian harus berjalan. Kalau semua kembali ke Wali Kota, itu bukan efisiensi, itu sentralisasi,” ujar Alfri.

DPRD juga memperingatkan potensi jeratan hukum yang mungkin timbul di kemudian hari.

“Kalau ini dibiarkan, bukan tak mungkin suatu hari kebijakan ini menjadi bahan temuan. Bisa jadi ada konsekuensi hukum karena bertentangan dengan regulasi pengelolaan keuangan daerah,” tegasnya.

Selain prosedur teknis, usai dialog DPRD turut menyoroti dampak kebijakan terhadap arah pembangunan jangka menengah. Mereka menyebut penyusunan RPJMD Palopo ikut tersendat karena ketidakpastian anggaran.

Situasi ini, menurut DPRD, bisa menjadi preseden buruk dalam tata kelola pemerintahan daerah.

Harapan Sinergi
Meski diskusi berlangsung hangat, forum diakhiri dengan ajakan untuk memperkuat sinergi antara eksekutif dan legislatif dalam membenahi tata kelola fiskal di Palopo.

“Forum ini penting sebagai ruang koreksi. Kita semua ingin pembangunan tetap berjalan tanpa mengorbankan aturan dan prinsip-prinsip demokrasi anggaran,” pungkas Alfri.

(Sn/Jn)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini