SE Pajak Kendaraan ASN Palopo Disorot, Ini Kata Pengamat
SENTRUMnews.com, PALOPO – Surat Edaran (SE) Wali Kota Palopo Nomor 100.3.4.3/24/UMUM tertanggal 3 Oktober 2025 tentang Ketaatan dalam Pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor bagi ASN lingkup Pemerintah Kota Palopo menuai kritik dari berbagai pihak.
Dalam SE tersebut, ASN di Palopo diminta melampirkan bukti pembayaran pajak kendaraan, termasuk denda tunggakan sebagai syarat pencairan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP).
Menanggapi sorotan publik, Wali Kota Palopo Hj Naili Trisal menjelaskan bahwa SE diterbitkan sebagai bagian dari upaya penertiban kepemilikan kendaraan ASN serta peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
“Kondisi ini mengurangi potensi PAD, sehingga perlu kebijakan administratif untuk menertibkan dan meningkatkan kepatuhan,” ujar Naili dalam keterangannya, Selasa (7/10/2025).
Naili menegaskan kebijakan ini bukan bentuk hukuman, melainkan dorongan terhadap kedisiplinan ASN.
“Kebijakan ini bukan bentuk sanksi, tetapi mekanisme penguatan disiplin dan kepatuhan administratif yang bersifat internal,” katanya.
Lebih jauh, ia memastikan SE ini memiliki dasar hukum yang jelas dan tidak bertujuan menimbulkan kerugian ASN.
“Surat edaran ini tidak menciptakan sanksi baru. Ia bersifat instruktif administratif dan menjadi penguatan tata kelola internal sesuai prinsip akuntabilitas keuangan daerah,” jelasnya.
Menurutnya, inisiatif ini tak hanya soal administrasi, melainkan juga menyangkut tanggung jawab moral ASN terhadap kota.
“Kebijakan ini pada dasarnya bukan hanya tentang pajak kendaraan, tetapi tentang budaya kepatuhan dan tanggung jawab ASN terhadap daerahnya sendiri. Kota Palopo sedang membangun ekosistem pemerintahan yang transparan dan berdaya fiskal kuat, dan kepatuhan ASN menjadi fondasi moralnya,” katanya.
Sementara itu, pengamat ekonomi Afrianto Nurdin justru menilai kebijakan ini berpotensi melampaui batas kewenangan administratif dan kurang berdampak signifikan terhadap PAD.
“Kebijakan tanpa studi dampak dan kewenangan administratif tidak boleh melampaui batas hukum. Ini malah menimbulkan beban tambahan tanpa dampak nyata bagi pendapatan daerah,” kata Alfri.
Ia menambahkan, potensi tambahan PAD dari kebijakan ini relatif kecil dibandingkan dampak ekonomi yang ditimbulkan bagi ASN.
“Menguras kantong rakyat demi PAD yang kecil bukan tanda pemerintah solutif, tapi tanda pemerintah kehabisan ide,” sindirnya.
Senada dengan Afrianto, pemerhati kebijakan publik Ahyar Amir mengatakan bahwa TPP adalah hak ASN berdasarkan kinerja dan kedisiplinan, bukan berdasar pelat kendaraan.
“Artinya, kepala daerah memang berwenang mengatur syarat administratif tertentu dalam pemberian TPP, selama masih sesuai koridor hukum dan relevan dengan kepentingan daerah,” jelas Ahyar.
Namun ia memperingatkan, jika kewajiban mutasi kendaraan dijadikan syarat mutlak pencairan TPP, maka itu melanggar hukum.
“Kalau ASN tidak mendapat TPP hanya karena belum mutasi pelat kendaraan, itu melanggar asas kepastian hukum dan proporsionalitas sebagaimana Pasal 10 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,” tegasnya.
Ahyar menyebutkan, SE tidak boleh bersifat memaksa atau mencabut hak ASN atas TPP.
“Kalau sifatnya hanya imbauan, itu diperbolehkan. Tetapi kalau wajib dan memaksa, jelas bertentangan dengan aturan tentang TPP,” pungkasnya.
Ahyar juga mempertanyakan dasar data dari kebijakan ini. Menurutnya, Pemkot Palopo harus memiliki data valid terkait kendaraan ASN dan masyarakat yang menggunakan pelat luar daerah.
“Data konkret ini penting sebagai dasar kebijakan agar tidak menimbulkan polemik berkepanjangan,” ujarnya.
Surat Edaran Wali Kota Palopo mengenai kepatuhan pembayaran pajak kendaraan bagi ASN sebagai syarat pencairan TPP memicu polemik. Di satu sisi, pemerintah kota menegaskan ini adalah upaya internal memperkuat disiplin dan PAD. Di sisi lain, pengamat menilai kebijakan tersebut tidak proporsional, berpotensi menyalahi aturan hukum, dan minim dampak nyata terhadap pendapatan daerah.
(**/Jn)
Tinggalkan Balasan