Prabowo dan Lubang Buaya: Ziarah Pertama Sang Presiden
SENTRUMnews.com, JAKARTA – Rabu pagi, 1 Oktober 2025, di Jakarta Timur kompleks Monumen Pancasila Sakti, seolah ikut menunduk dalam upacara kenegaraan perdana Presiden Prabowo Subianto memperingati Hari Kesaktian Pancasila.
Tempat bersejarah yang selama ini menyimpan luka dan keteguhan ideologi bangsa, menjadi saksi bisu langkah awal Presiden ketiga dari kalangan militer pascareformasi itu.
Dalam balutan jas resmi dan dasi merah, Prabowo berdiri tegak di podium inspektur upacara. Sorot matanya tajam, namun menyiratkan keheningan. Saat ia memimpin hening cipta untuk mengenang para pahlawan revolusi yang gugur pada tragedi 30 September 1965, suasana berubah khidmat.
“Marilah kita sejenak mengenang arwah dan jasa-jasa para pahlawan revolusi dan para pendahulu kita yang telah berkorban untuk kedaulatan, kehormatan, kemerdekaan bangsa Indonesia, dan untuk mempertahankan Pancasila,” ucap Prabowo dengan suara bergetar, yang menggema di antara barisan peserta upacara.
Bagi Prabowo, yang pernah digeser dari militer di tengah bayang-bayang pelanggaran HAM era Orde Baru, memimpin upacara di Lubang Buaya adalah momen yang sarat simbolik.
Ia kembali ke tempat yang selama puluhan tahun menjadi pusat narasi ideologis Orde Baru, rezim yang juga membentuk, sekaligus menggugurkan karier militer sang jenderal.
Sekretaris Kabinet, Teddy Indra Wijaya, menyebut momen ini sebagai “pernyataan moral dan politik” dari Prabowo. “Bapak Presiden ingin menegaskan bahwa komitmen terhadap Pancasila bukan hanya retorika. Beliau hadir secara utuh fisik dan batin di tempat ini, bukan sekadar sebagai kepala negara, tetapi sebagai putra bangsa yang memahami sejarah dan luka ideologis negeri ini,” kata Teddy dalam keterangannya dikutip dari laman Satpres.
Menurut Teddy, Prabowo menyusun sendiri pidato singkat hening cipta itu. “Tidak ada teks panjang. Hanya kalimat sederhana, tapi mengandung penghayatan mendalam,” ujarnya.
Upacara ini sekaligus memperlihatkan harmoni antara lembaga tinggi negara. Ketua MPR Ahmad Muzani. sekutu lama Prabowo dari Partai Gerindra membacakan naskah Pancasila. Puan Maharani dari PDIP memimpin pembacaan dan penandatanganan ikrar.
Adapun Wakil Ketua DPD Yorrys Raweyai dan Menteri Agama Nasaruddin Umar turut mengisi susunan acara.
Usai upacara, Prabowo berjalan kaki menuju sumur tua yang menjadi saksi sejarah pembunuhan tujuh perwira tinggi TNI AD pada malam kelam 1965. Di sana, ia berdiri diam, lalu memejamkan mata. Doa dilantunkan pelan. Beberapa menteri tampak menunduk, sebagian lain mencatat momen itu dengan ponsel.
“Lubang Buaya bukan sekadar monumen. Ia adalah pengingat bahwa kekuasaan tanpa nilai akan melahirkan kekerasan. Presiden sangat memahami itu,” kata Teddy.
Momentum ini sekaligus mengundang tafsir politik. Apakah Prabowo hendak merajut kembali narasi ideologis yang sempat dikritik sebagai warisan Orde Baru? Atau ia justru berusaha memurnikan semangat Hari Kesaktian Pancasila dari tafsir masa lalu?
“Presiden tidak sedang menghidupkan romantisme masa lalu, tapi menawarkan rekonsiliasi simbolik antara sejarah, ideologi, dan masa depan,” ucap Teddy lagi.
Setelah dua dekade pascareformasi, peringatan Hari Kesaktian Pancasila sering kali menjadi seremoni tahunan yang minim makna. Namun kali ini, dengan Prabowo sebagai Presiden, makna itu tampak hendak dihidupkan kembali, meski mungkin dengan tafsir yang berbeda.
Sebagai mantan tentara yang kini memimpin negara demokrasi, Prabowo memanggul beban sejarah yang tidak ringan. Ia berdiri di antara ketegangan masa lalu dan harapan masa depan. Di Lubang Buaya, ia tampak sadar bahwa menjadi Presiden di Indonesia tak cukup hanya memimpin; tapi juga harus bisa mendamaikan memori bangsa.
(Sn/Sn)

Tinggalkan Balasan