Willy Aditya Tekankan Revisi UU Pemilu Harus Berdasarkan Pendekatan Ilmiah

Anggota DPR RI Fraksi NasDem Willy Aditya. (FT: Ist)

SENTRUMnews.com, JAKARTA – Anggota DPR RI Willy Aditya sepakat bahwa sistem politik Indonesia perlu diperbaiki melalui revisi UU Pemilu. Ia menekankan, langkah perbaikan harus dilakukan secara menyeluruh dan berbasis pendekatan ilmiah, bukan keputusan yang terburu-buru atau emosional.

Willy menegaskan pentingnya menggunakan data dan riset sebagai dasar dalam setiap kebijakan politik. Hal ini untuk memastikan bahwa revisi UU Pemilu mampu menciptakan sistem yang adil dan transparan bagi seluruh lapisan masyarakat.

“Tentu ini harus gayung bersambut untuk bersih-bersih. Tapi kata pepatah, jangan mengambil keputusan di saat emosi. Ini yang harus kita jadikan dasar,” kata Willy dikutip dari laman DPR RI, Rabu (10/9/2025).

Pernyataan tersebut muncul menanggapi wacana Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, terkait revisi UU Pemilu. Menurut Yusril, revisi diperlukan untuk membuka sistem Pemilu agar partisipasi politik lebih inklusif, tidak hanya berpihak pada mereka yang memiliki modal besar atau selebritis.

“Saya berulang kali mengatakan, keputusan kita harus kita letakkan secara scientific approach on development on policy. Kenapa? karena harus ada riset,” beber politisi Fraksi Partai NasDem ini.

Willy menekankan pentingnya pembaruan politik secara menyeluruh, tidak hanya menyoroti satu sisi dan mengabaikan sisi lain. Ia juga menyinggung perdebatan terkait sistem proporsional terbuka maupun proporsional tertutup, yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.

“Kalau kita berbicara hanya semata-mata pada satu sisi atau satu variabel, saya mau tanya, apakah (misalnya) seorang Rieke Diah Pitaloka (yang berlatar belakang selebritis) tidak hebat? Maka kemudian politik itu punya dua kaki, apalagi demokrasi,” ujar Willy.

Dalam pandangan Willy, revisi UU Pemilu harus berlandaskan deliberative democracy, yakni dialog yang melibatkan semua lapisan masyarakat, mulai dari political society, civil society, hingga kelompok kepentingan lainnya.

“Semua teori sosial politik itu memiliki cacat bawaan. Tinggal yang harus kita lakukan, yang pertama adalah scientific approach, kita harus melakukan pendekatan berbasis riset yang kemudian berbasiskan dialog, harus dialog multi layer. Inilah deliberative democracy,” kata Willy.

Ia menegaskan, tidak ada sistem politik yang sempurna, sehingga pendekatan dialog terbuka menjadi kunci agar revisi UU Pemilu menghasilkan sistem yang lebih adil dan representatif.

“Maka kemudian kita harus mencari benang merah bahwasannya deliberative democracy itu adalah basisnya dialog yang melibatkan political society, civil society, state, dan kelompok kepentingan lainnya untuk duduk bersama. Karena tidak ada yang sempurna atau paripurna, ada kelemahan dan kelebihannya,” tutupnya.

(**/Sn)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini