Dari Konflik Mahasiswa Jadi Teror Kedaerahan di Kampus Makassar

Kampus UMI Makassar. (FT: Ist)

SENTRUMnews.com MAKASSAR – Dunia akademik di Kota Makassar kembali tercoreng oleh aksi kekerasan. Sejumlah kampus dilaporkan menjadi lokasi penyisiran oleh kelompok orang tak dikenal (OTK) yang mengenakan penutup wajah dan membawa senjata tajam.

Sasaran mereka diduga adalah mahasiswa asal Tana Luwu (meliputi Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, dan Kota Palopo).

Peristiwa yang menyebar ke berbagai kampus ini memunculkan kembali kekhawatiran akan konflik horisontal mahasiswa berbasis identitas kedaerahan, di tengah iklim akademik yang seharusnya menjadi ruang damai dan rasional.

Polisi belum menunjukkan tindakan yang tegas. Aparat disebut terlambat merespons aksi-aksi penyisiran yang dilakukan secara terang-terangan, siang hari, di lingkungan kampus.

Desakan Legislator dan Tokoh WTL
Anggota DPRD Sulsel dari Fraksi PKS, Andi Syafiuddin Patahuddin, mengecam keras kekerasan yang terjadi. Dalam pernyataannya, ia mengimbau mahasiswa asal Luwu Raya agar tidak terpancing dan tetap menjaga ketenangan.

“Mahasiswa Luwu Raya harus menjadi teladan dalam menyikapi situasi penuh ketegangan ini dengan kepala dingin,” ujarnya kepada wartawan, dikutip Jumat (25/07/2025).

Politisi Dapil XI Luwu Raya ini menuntut kepolisian segera bertindak sebelum korban jatuh. Menurutnya, dunia pendidikan tak boleh diintervensi oleh aksi-aksi intimidatif yang bersifat sektarian.

Nada serupa disampaikan Ketua BPW Kerukunan Keluarga Luwu Raya (KKLR) Sulawesi Selatan Hasbi Syamsu Ali. Ia menyebut penyisiran yang dilakukan kelompok tertentu adalah teror nyata dan berpotensi menjadi konflik SARA.

“Ini bukan lagi gesekan biasa. Ini teror. Harus ada tindakan hukum yang jelas dan adil,” kata Hasbi.

Hasbi menyoroti tindakan sekelompok orang yang menyisir kampus dan mengejar mahasiswa berdasarkan identitas asal. Ia menegaskan bahwa konflik tersebut bukan konflik antar daerah, melainkan tindak kriminal yang harus ditangani sesuai hukum pidana.

Nada keras juga datang dari Ketua DPD I KNPI Sulsel, Andi Surahman Batara, ia menyoroti pentingnya langkah pencegahan yang humanis namun tegas dari kepolisian. Menurutnya perlu adanya dialog terbuka antarorganisasi mahasiswa yang berkonflik, dengan fasilitasi dari tokoh masyarakat dan aparat.

“Situasi sosial di Sulsel sangat bergantung pada kemampuan pendekatan yang tidak hanya represif, tapi juga preventif,” ujar Surahman.

Menurut dia, Kapolda harus mengambil posisi sebagai figur pemersatu di tengah situasi yang rawan meledak. Keteladanan moral dianggap lebih efektif dibanding penindakan yang reaktif.

Sementara itu, mantan Ketua IPMIL Palopo, Haeruddin mengingatkan agar konflik ini tidak dijadikan panggung pencitraan oleh elit atau tokoh-tokoh tertentu. Menurutnya, ini adalah konflik internal yang biasa terjadi di kampus.

“Jangan membesar-besarkan masalah ini. Ini gesekan antar mahasiswa, biasa di internal kampus UMI,” ujarnya.

Meski begitu, ia mengkritik polisi yang dianggap lambat merespons aksi kekerasan yang terjadi di sedikitnya lima kampus.

Dugaan IPMIL RAYA vs PMTS: Konflik Organisasi Bernuansa Identitas
Berdasarkan informasi dihimpun, sumber konflik ini diduga berasal dari pertikaian antara dua organisasi mahasiswa daerah, IPMIL RAYA (Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu) dan PMTS (Persatuan Mahasiswa Tau Sianangkang), yang bermula dari dinamika internal di Universitas Muslim Indonesia (UMI).

Konflik itu kemudian meluas, menyeret identitas daerah ke dalam arena pertikaian. Aksi penyisiran dan kekerasan mengarah pada bentuk kekerasan identitas, dengan mahasiswa tertentu menjadi target karena asal daerah mereka. (**/Jn)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini