Dua Perkara Etik di DKPP: Polemik PSU Seret KPU Sulsel dan Bawaslu Palopo
SENTRUMnews.com, Palopo – Dugaan pelanggaran etik dalam pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Palopo berujung pada sidang di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Dua lembaga penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Palopo, dijadwalkan menjalani sidang etik pada Rabu, 23 Juli 2025 mendatang di Jakarta.
Kasus ini bukan hanya menyorot teknis pemilu, tetapi juga mengungkap dinamika tarik-menarik antara kebijakan kelembagaan, hak politik warga, dan praktik pengawasan demokrasi lokal pasca Pilkada 2024 yang diwarnai kontroversi.
Ada dua perkara yang akan disidangkan. Perkara pertama dengan nomor 165-PKE-DKPP/VI/2025 yang melibatkan Ketua KPU RI dan komisioner KPU Sulsel terkait keputusan mereka dalam PSU Pilkada Palopo beberapa Waktu lalu.
Perkara ini diajukan oleh Dahyar, warga Palopo yang menyoal keabsahan keputusan KPU Sulsel meloloskan calon Wakil Wali Kota nomor urut 4, Akhmad Syarifuddin (Ome).
Perkara kedua, 170-PKE-DKPP/VI/2025, dilaporkan oleh Junaid, pemerhati demokrasi di Palopo. Ia menuding Ketua Bawaslu Palopo, Khaerana, dan anggota Widianto telah gagal menjalankan pengawasan yang objektif dan di nilai lalai.
“Saya sudah menerima jadwal sidang dari DKPP. Insya Allah saya hadir dalam sidang,” kata Junaid dalam keterangannya, dikutip Minggu (20/07/2025).
Junaid bukan sosok baru dalam pusaran kritik terhadap penyelenggara pemilu lokal. Ia sebelumnya juga melaporkan tiga komisioner KPU Palopo usai Pilkada 27 November 2024. Laporan tersebut berujung pada pemecatan ketiganya.
KPU Sulsel Dituding Abaikan Prinsip Keadilan Pemilu
Polemik berawal dari keputusan KPU Sulsel meloloskan kembali Ome dalam PSU yang digelar pada 24 Mei 2025. Keputusan itu menuai protes dari sejumlah warga yang menilai adanya celah dalam proses perbaikan administrasi pencalonan.

Ketua KPU Sulsel, Hasbullah, ketika itu menyatakan bahwa keputusan tersebut telah melalui telaah hukum dan mendapat pengesahan lewat surat dinas resmi dari KPU RI.
“KPU RI sebagai penanggung jawab akhir dari semua proses pemilihan, termasuk pemilihan kepala daerah, telah menuangkan surat dinasnya kepada kami,” ujar Hasbullah saat menerima massa aksi di Kantor KPU Palopo, Senin (14/04/2025).
Ia menegaskan bahwa pihaknya siap jika keputusan itu diuji secara etik maupun hukum. “Kalau teman-teman tidak puas dengan kebijakan itu, banyak jalur lain. Silakan laporkan kami ke DKPP, ke Bawaslu. Semua jalur konstitusional terbuka,” ucapnya.
Beda Rekomendasi Bawaslu, Beda Tafsir Keadilan
Yang menarik, Bawaslu pun disebut memberikan rekomendasi berbeda dalam PSU 2025 dibanding saat Pilkada 2024. Perbedaan tafsir antar-lembaga inilah yang mempertegas persoalan koordinasi dan konsistensi pengawasan dalam sistem kepemiluan di tingkat lokal.
Bagi para pelapor seperti Junaid dan Dahyar, keberadaan lembaga etik seperti DKPP menjadi satu-satunya saluran untuk menagih tanggung jawab moral dan hukum penyelenggara pemilu yang dianggap tidak netral.
Namun, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah proses etik ini cukup untuk membenahi sistem yang terus-menerus melahirkan sengketa?
Ataukah ia justru jadi pintu masuk baru dalam pertarungan politik yang makin kompleks di tingkat lokal?
Sidang pada 23 Juli mendatang, akan menjadi momen krusial untuk menjawab sebagian dari persoalan tersebut.
Mengabaikan Prinsip Kesetaraan Peserta Pemilu
Jika calon lain tidak diberi kesempatan serupa untuk memperbaiki berkas atau pencalonan, maka keputusan KPU Sulsel meloloskan satu pasangan calon bisa dianggap diskriminatif.
Hal ini mencederai prinsip kesetaraan peserta pemilu, di mana semua kandidat seharusnya diperlakukan setara dalam prosedur dan tahapan.
KPU Sulsel di nilai memberikan perlakuan istimewa pada satu calon dengan alasan “hak politik”, padahal tidak semua calon diberi perlakuan serupa. (*)
Tinggalkan Balasan