Gerakan Ayah Mengantar Anak ke Sekolah: Niat Baik yang Bisa Menyisakan Luka

Abdul Salam Addas. (FT: Int)

Oleh: Abdul Salam Addas

Gerakan ‘Ayah Mengantar Anak ke Sekolah’ yang kini marak digaungkan di berbagai wilayah merupakan upaya mulia untuk menguatkan kembali peran ayah dalam pengasuhan anak.

Di tengah arus modernitas yang membuat waktu bersama keluarga semakin langka, ajakan ini muncul sebagai pengingat penting bahwa figur ayah tak boleh sekadar menjadi penyedia nafkah, tetapi juga pendamping dalam pertumbuhan anak.

Namun, di balik niat baik tersebut, ada hal yang luput dari perhatian: tidak semua anak memiliki ayah yang bisa mengantarnya ke sekolah.

Ada anak-anak yatim yang telah kehilangan ayah mereka untuk selamanya. Ada pula anak-anak yang hidup dalam keluarga broken home, yang melihat ayahnya hanya sebagai nama dalam kartu keluarga.

Tak sedikit pula anak-anak yang ayahnya harus bekerja di luar kota atau luar negeri demi menyambung hidup.

Lalu bagaimana perasaan mereka saat teman-temannya datang dengan bangga bersama sang ayah, berfoto, dan mendapat apresiasi? Rasa kehilangan dan kecemburuan sosial tak bisa dihindari.

Psikolog John Bowlby melalui Attachment Theory menyebut bahwa kelekatan emosional dengan figur pengasuh utama sangat penting dalam membentuk kepribadian dan kesehatan mental anak.

Ketika gerakan seperti ini terlalu berfokus pada “ayah biologis”, kita tanpa sadar menciptakan standar emosional yang tak bisa dijangkau oleh sebagian anak.

Akibatnya, yang muncul bukanlah semangat kebersamaan, tetapi luka-luka baru yang tak terlihat.

Dari sudut pandang Hierarchy of Needs milik Abraham Maslow, kebutuhan anak atas rasa cinta dan memiliki (belongingness and love) adalah kebutuhan dasar setelah rasa aman.

Ketika mereka merasa tidak termasuk atau tidak layak karena perbedaan kondisi keluarga, maka harga diri mereka ikut tergerus. Ini tentu bertentangan dengan tujuan pendidikan yang ingin menciptakan ruang yang adil, aman, dan sehat bagi seluruh peserta didik.

Alih-alih memperkuat keterlibatan orang tua, gerakan ini bisa berbalik menjadi bentuk eksklusi sosial jika tidak dirancang dengan pendekatan yang inklusif.

Untuk menjadikan gerakan ini benar-benar berdampak positif bagi semua anak, perlu ada perubahan pendekatan. Mengubah narasi dari “Ayah Mengantar” menjadi “Keluarga Mengantar Anak ke Sekolah” adalah langkah awal.

Dengan begitu, siapapun—ibu, paman, tante, nenek, atau wali murid lainnya—bisa berperan. Intinya bukan pada siapa yang mengantar, tetapi bagaimana anak merasa dicintai, didampingi, dan dihargai.

Sekolah dan masyarakat juga bisa mengadakan sesi refleksi bersama, di mana anak-anak dapat menulis atau menceritakan sosok penting dalam hidup mereka.

Ini membuka ruang bagi anak-anak yatim, anak dari keluarga non-inti, atau anak dengan latar belakang unik lainnya untuk tetap merasa berharga dan diterima.

Kita tentu mengapresiasi upaya mendorong keterlibatan ayah dalam kehidupan anak. Namun, kampanye seperti ini harus dirancang dengan kesadaran penuh akan keberagaman realitas sosial anak.

Sebab pendidikan bukan sekadar membentuk prestasi, tetapi juga membangun empati. Dan empati tak akan tumbuh jika luka-luka batin dibiarkan tersembunyi demi mengejar simbol kebersamaan semu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini